Chapter 105: Perampokan
Chapter 105: Perampokan
Keesokan harinya Randika dan Inggrid pergi jalan-jalan bersama. Ketika kontrak kerja sama itu telah selesai, Inggrid terlihat lebih santai dan senang.
Randika tentu saja menikmati momen kebersamaan dengan istrinya itu. Mereka berbelanja, makan makanan enak bahkan dia sempat menggandeng tangannya! Benar-benar suasana yang menyenangkan.
"Sayang, coba kamu cicipi ini."
"Wah kamu cantik sekali pakai baju itu."
"Sini tanganmu, aku tidak ingin kau jauh dariku."
......
Kedua orang ini sudah bagaikan pasangan yang jatuh cinta, Inggrid tidak menolak sama sekali dan merasa bahwa Randika yang perhatian seperti ini tidaklah buruk.
Puncaknya adalah mereka bergandengan tangan dan kata-kata Randika yang terdengar romantis itu, wajahnya benar-benar merah karena malu.
Keduanya menikmati waktu yang seakan abadi itu, keduanya menyukai perasaan ini.
Namun, tidak jauh di depan mereka terlihat sebuah kerumunan yang benar-benar ribut.
Dari suara-suara yang terdengar, suara orang mengamuk paling keras terdengar.
Tiba-tiba Randika merasa penasaran.
Di antara kerumunan orang tersebut, Rangga, yang sebelumnya merupakan wakil dari Riko, sedang memegang sebuah pisau.
"Kau tahu siapa yang menguasai kota ini dari balik layar?" Rangga benar-benar besar kepala setelah mengambil posisi Riko sebagai kepala gangster. "Aku beritahu ya, orang itu adalah aku! Semua preman di kota ini akan menunduk padaku jika melihat aku."
"Maaf pak maaf." Pejalan kaki yang dikerubungi oleh para preman ini sudah menciut tidak karuan. Dia terus-terusan menundukan kepalanya, tidak berani memandang sama sekali. "Aku benar-benar tidak sengaja menabrakmu."
"Siapa suruh kamu menjawab aku!" Rangga menempelkan pisaunya di leher orang tersebut. "Apakah aku menyuruhmu untuk berbicara?"
Orang ini sudah hampir mengompol, dia hanyalah pegawai toko dari toko kecil.
"Hah? Lihat apa kalian? Mau kubunuh juga?" Kata salah satu bawahan Rangga pada para pejalan kaki yang berhenti dan menatap mereka. Aura yang dipancarkan para gangster ini benar-benar mengintimidasi. Semua orang memalingkan wajah mereka dan berjalan kembali. Meskipun mereka ingin menolong orang tersebut, itu tetap tidak sepadan dengan merelakan nyawa mereka.
Manusia memang makhluk egois.
Melihat gertakan mereka berhasil, para gangster ini makin besar kepala.
Rangga lalu menatap mangsanya sekali lagi dan berkata dengan nada mengancam. "Jadi, bagaimana kau akan menebus kesalahanmu itu?"
"..." Orang ini benar-benar tidak tahu harus berkata apa, untuk makan saja dia sudah kesusahan.
"Sekarang kau malah jadi bisu?" Rangga meludahi sepatu orang tersebut.
Perasaan kesal Rangga ini disebabkan oleh kematian sosok pemimpinnya yaitu Riko. Sekarang, setelah membayar para polisi agar semua anggotanya bisa berjalan bebas lagi, Rangga dan kelompoknya benar-benar kehabisan uang. Ini sama saja harus mengulang dari awal.
Tetapi, sosok seperti setan yang membunuh Riko itu tetap melekat di benaknya. Dia bersyukur waktu itu pura-pura pingsan setelah melihat anggotanya yang lain itu dihajar babak belur.
Mengingat sosok Randika tersebut, Rangga semakin kesal dan menendang mangsanya itu. Dengan cepat, orang tersebut merintih kesakitan.
"Baiklah, baiklah, aku akan menuruti apa maumu." Orang ini sudah benar-benar takut.
"Pilih aku menghajarmu sampai mati atau berikan seluruh uangmu dan aku mungkin akan melepaskanmu?" Rangga ingin melampiaskan kekesalannya ini ke suatu tempat.
Orang ini dengan cepat merogoh celananya. Lalu dengan wajah pucat, dia mengeluarkan uangnya satu-satunya yaitu 10 ribu.
Orang ini menelan ludahnya dan merasa bahwa ini adalah akhir dari dirinya. Dia hanya menatap Rangga dan menyerahkan uangnya itu.
"Tidak punya dompet?"
"Aku tidak punya!" Orang ini sudah ingin menangis, daripada dompet dia lebih memilih beli beras.
"Kalau begitu, aku akan memotong tanganmu itu." Rangga dengan cepat mengeluarkan pisaunya lagi dan mengangkat tinggi, berusaha menggertak.
"Aku bersumpah aku tidak punya dompet!" Orang tersebut segera panik.
"Geledah dia!" Kata Rangga pada bawahannya.
Dengan cepat dua bawahannya itu menggeledah seluruh tubuh orang tersebut dan masih tidak dapat menemukan apa-apa.
Sialan, mangsanya kali ini miskin!
Rangga benar-benar menjadi kesal, akhir-akhir ini nasibnya sial terus.
Pada saat ini, seseorang mendekati mereka dan menyapa mereka. Salah satu preman langsung membentak orang itu dengan nada tinggi. "Mau apa kau bajing.."
Setelah mengamati satu sama lain, suara yang keras itu perlahan menjadi pelan dan tak terdengar lagi.
Melihat sosok Randika, semua preman ini nyalinya menciut dan tanpa sadar melangkah mundur membuat jalan bagi Randika dan meninggalkan Rangga pemimpin baru mereka.
Tangan kokoh Randika dengan santai berada di pundak Rangga.
"Sudah kubilang, jangan pernah sentuh aku dari belakang!" Rangga langsung menipis tangan yang ada di pundaknya itu dan menoleh dengan muka sangarnya.
Randika hanya berdiri di situ sambil menyeringai.
SIALAN!
Rangga sudah gemetar ketakutan, si setan ini muncul kembali?
Apakah ini mimpi?
Rangga menggosok matanya kuat-kuat, sosok setan yang menghancurkan kelompoknya ini tidak menghilang dari hadapannya.
"Hahaha aku pasti lagi di dunia mimpi." Rangga lalu berbalik dan mengendap-endap pergi.
"Kalau begitu aku akan berlarian mencari cewek."
Namun, suara Randika yang tenang itu membuatnya berhenti melangkah. "Siapa suruh kamu pergi?"
Mendengar hal tersebut, Rangga tidak berani melangkah lagi. Dia lalu menoleh dan berkata dengan kaki gemetar. "Wah kakak tertua sedang belanja?"
"Siapa yang kakak tertuamu?" Randika lalu berkata dengan santai. "Dan kalian semua, siapa yang menyuruh kalian memencar seperti itu? Berdiri semua di depanku sekarang.
Dalam sekejap, semua preman dan Rangga berbaris dengan rapi menghadap Randika. Mereka sudah bagaikan mengikuti upacara.
Randika lalu menatap Rangga yang menurutnya merupakan ketua yang baru. Senyuman Randika sudah mengatakan segalanya.
Melihat senyuman itu, Rangga hanya merinding dan mengerti maksudnya. Kemudian dia merogoh saku celananya dan cuma ada 500 ribu.
"Kak, tolong lepaskan kami." Wajah Rangga sudah sangat jelek. "Kami berjanji kita tidak akan bertemu lagi."
"Ha? Kalian tidak ingin bertemu denganku gitu maksudmu?" Kata Randika. "Padahal aku menyukai setoran uang kalian lho."
Orang yang ditolong Randika itu kebingungan, para preman itu terlihat sedang dirampok oleh orang di depannya itu.
Semua preman ini sudah ingin menangis ketika mendengarnya. Sekarang lagi-lagi mereka harus menyerahkan uangnya pada pria ini dan kalau mereka bertemu lagi nantinya maka mereka harus membayar lagi.
"Ayo cepat, aku tidak punya banyak waktu hari ini." Kata Randika.
Muka Rangga penuh dengan ekspresi kesal, takut dan sedih. Sejak kapan kepercayaan dirinya menjadi serendah ini? Tetapi ketika melihat senyum Randika, seluruh tubuhnya gemetar dan nyalinya menjadi ciut.
Dengan gemetaran, tangan kanannya meraih dompetnya.
"Ini kak, semua uang kita ada di situ." Secercah ketakutan melintas di mata Rangga ketika menyerahkan dompetnya.
Randia mengambilnya, mengeluarkan semua uangnya dan berteriak pada orang yang ditodong tadi.
Orang tersebut menghampiri Randika dan menerima uang tersebut.
Orang itu terkejut dan Randika hanya berkata padanya dengan santai. "Anggap itu kompensansimu."
Rangga yang melihat ini terkejut. Dia telah dirampok oleh Randika dan sekarang mangsanya tadi itu malah yang menerima uangnya?
Orang tak bersalah itu menjadi senang ketika mendapatkan uang itu. Ketika melihat punggung Randika itu, tubuhnya ikut gemetaran. Namun, gemetaran itu bukan karena takut melainkan dia bersyukur mendapatkan uang itu karena bisa meringankan hidupnya beberapa hari ke depan.
"Jangan khawatir, aku akan mematahkan kaki mereka satu per satu kalau mereka masih mengganggumu. Sekarang pergilah."
Mendengar hal tersebut, orang itu langsung berlari dengan kantong penuh uang.
Dalam benak para preman ini, mereka telah berpikir betapa kecilnya dunia ini karena mereka bisa bertemu dengan Randika. Mereka benar-benar tidak beruntung.
"Ah kak" Rangga memecah keheningan.
Randika mendengus dingin. "Apa? Kau tidak terima?"
"Bukan, bukan." Rangga dengan cepat menjadi panik. Mau dia tidak menerima keputusan Randika pun, dia tidak bisa apa-apa.
"Lho tidak apa-apa kalau kamu tidak terima, kamu bisa memukulku 2 kali." Kata Randika dengan nada serius.
"Tidak! Aku tidak akan pernah selancang itu! Kami semua tunduk pada kakak tertua, percayalah pada kesetiaan kami." Rangga sudah ingin menangis, matanya sudah memerah.
"Bagus, bagus, jadi kalian akan hidup dengan jujur setelah ini?" Randika menepuk pundak Rangga.
"Kami akan hidup jujur mulai hari ini." Rangga sudah ingin meninggalkan tempat ini, tetapi tangan Randika mencegahnya untuk pergi.
"Tetapi kata-kata saja tidak cukup menurutku. Bagaimana kalau kalian mengumumkan niat baik kalian ini pada orang-orang? Aku akan membantu kalian untuk memperbaiki citra kalian yang buruk itu."
"Ah?" Semua preman terkejut mendengarnya. Uang kami sudah kau rampok dan sekarang kau ingin kami mempermalukan diri?
Semua orang saling bertatap-tatapan dengan muka bingung. Mereka semua ini adalah preman, siapa yang mau menjalani hidup jujur?
Tetapi, Rangga merasakan tatapan tajam Randika lalu dia berteriak pada para bawahannya. "Kalian semua, tiru kata-kataku!"
Si bos sudah berkata dan para preman ini tidak punya pilihan. Mereka semua segera berteriak 'Mulai hari ini kami akan hidup jujur dan tidak akan pernah berbuat jahat lagi!'
Randika yang mendengarnya mengangguk puas dan berkata dengan santai. "Bagus, bagus, lebih sempurna lagi kalau kalian berteriak 5x lagi."
Semua preman ini sudah ingin menangis, bahkan beberapa sudah meneteskan air mata.
"Semua, tiru aku 5x lagi!" Rangga tidak punya pilihan selain menuruti Randika.
Lalu, semua para preman ini sambil disaksikan orang banyak berteriak lagi.
'Mulai hari ini kami akan hidup jujur dan tidak akan pernah berbuat jahat lagi!'
Suara mereka sangat keras dan menghentikan laju para pejalan kaki yang melewati mereka.
Para gangster itu masih sehat?
Inggrid yang ada di sebelah Randika hanya bisa tertawa terus-menerus. Randika memang pintar membuat orang lain malu.
Setelah 5x berteriak keras, Rangga menatap Randika dan berkata dengan suara pelan. "Bagaimana kak? Apakah kita sudah boleh pergi?"
"Suara kalian tidak terdengar tulus." Randika mengerutkan dahinya. Dalam sekejap hati Randika menjadi panik, apakah mereka akan dihajar lagi?
"Tapi yah bolehlah usaha kalian itu." Randika mengangguk puas.
"Kalau begitu apakah kami boleh pergi?" Rangga tersenyum lebar, dia berharap Randika mau melepaskan mereka.
"Pergilah." Randika mengibaskan tangannya dan mengatakan. "Aku akan tinggal di kota ini sebulan lagi, mungkin nanti kita akan bertemu lagi di lain kesempatan."
Ketika Rangga mendengar hal ini, dia nyaris jatuh pingsan. Sebulan hidup di bawah ketakutan? Dia tidak yakin bisa melaluinya.
Setelah para gangster itu pamit pulang, Inggrid tidak bisa berhenti tertawa. "Aku kadang heran, kau itu orang baik atau jahat."
"Mereka lebih jahat dariku tahu." Randika lalu menghampiri Inggrid dan memeluknya di pinggangnya.
Inggrid melototinya dan menghela napas. Karena Randika telah membantunya menyelesaikan kontrak dengan Yosua, Inggrid membiarkannya.