Chapter 130: Ada Orang yang Sedang Bergulat
Chapter 130: Ada Orang yang Sedang Bergulat
Rentetan pisau yang terlempar itu benar-benar padat. Serangannya ini benar-benar tidak bercela, apalagi Leo juga ikut menerjang maju.
Jelas bahwa lawannya harus menghentikan laju pisau-pisau itu terlebih dahulu. Dan ketika lawannya sibuk menghindari dan menangkis, Leo akan mencari titik buta untuk menyerangnya.
Namun, Randika hanya berdiri diam sambil menjulurkan tangan kanannya. Lalu dia tampak sedang mengayunkan tangannya seakan-akan sedang memandu paduan suara. Setelah itu, seluruh pisau tersebut tergeletak di tanah.
Pada saat ini, tangan kanan Randika bergerak secepat kilat dan berusaha menangkap pergelangan tangan Leo.
Meskipun terkejut, Leo berhasil menghindari tangkapan itu dengan melompat sedikit ke belakang. Namun, inilah momen yang ditunggu Randika. Dengan cepat sebuah pukulan melayang ke dada Leo dan membuatnya terpental jauh ke tembok.
Pertarungan ini berakhir dengan cepat, bahkan tidak sampai 5 detik sejak Leo bergerak duluan.
"Sudah kubilang, kau bukan tandinganku. Orang lemah sepertimu cukup aku tangani dengan satu tangan." Kata Randika sambil tertawa, dia lalu menoleh ke arah Elva dan mengatakan. "Sudah selesai!"
"Awas!" Ekspresi Elva segera berubah, Leo sudah melayangkan pisaunya sekali lagi.
Namun, lagi-lagi Randika menangkapnya dengan jari telunjuk dan tengahnya.
"Serangan diam-diam seperti itu sama sekali tidak jantan." Randika lalu melempar pisaunya itu pada Leo. Pisau berhasil menancap dengan kuat di lengan atas tangan kanannya.
Leo mendengus dingin, dia merasa bahwa pisau itu menancap di tulangnya. Rasa sakit dari lengannya itu membuatnya tidak bisa menggerakannya sama sekali.
Melihat hal ini, Elva menjadi tenang. "Leo, kau benar-benar tidak bisa lari lagi."
Leo sama sekali tidak memperhatikan Elva. Malahan dia menatap Randika dalam-dalam. "Kamu benar-benar kuat!"
"Kau saja yang terlalu lemah." Randika menggelengkan kepalanya. Dia lalu berjalan ke samping Leo dan mengeluarkan jarum akupunturnya. Setelah dia menancapkan ke titik tertentu, Leo segera meraung kesakitan.
"Jangan coba-coba lari." Kata Randika sambil tertawa.
Leo menggertakan giginya kuat-kuat. Tatapan matanya masih dipenuhi dengan tatapan kebencian pada Randika. Kalau bukan karena pria ini, dia sudah berhasil lari jauh dari tempat ini.
Dengan tenaga terakhirnya, dia mengambil pisau terakhirnya dengan tangan kirinya. Namun, Randika segera menginjaknya, sama sekali tidak memberikan kesempatan untuknya berbuat macam-macam.
"Ah!" Raungan kesakitan ketika tangannya diinjak benar-benar memekakan telinga. Randika lalu memukul Leo hingga pingsan.
"Baiklah kalau begitu." Randika lalu berdiri dan menoleh ke arah Elva. "Maaf aku membuatnya pingsan, dia tidak bisa diam daritadi."
Elva sendiri masih terkejut dengan hal ini. Dia tahu bahwa Randika memang kuat, tapi dia tidak menyangka bahwa dia akan sekuat ini. Pertarungannya dengan Leo tidak memakan waktu lebih dari 5 detik.
Elva merasa bodoh karena sempat ingin membahas rencana dengan orang ini. Sepertinya di hadapan kekuatan absolut, manusia tidak bisa apa-apa.
"Hmm? Kenapa kau memandangiku terus?" Randika sedikit bingung dengan Elva yang berdiri diam. Melihat tatapan mata Elva, Randika tidak bisa tidak menggodanya. "Jangan-jangan kamu terpesona dengan kemampuan dan ketampananku? Apakah kau suka dengan otot-ototku ini? Aku tidak menyangka kamu mempunyai fetish seperti itu. Mungkin perjalananmu mencari pasangan telah berakhir di sini. Kemarilah dan rasakan ototku ini secara langsung!"
Tatapan mata Elva berubah menjadi jijik. Kenapa bajingan ini tidak bisa serius satu menit saja?
Elva lalu menghampiri Leo dan memborgolnya dengan borgol khusus. Dia lalu menghubungi markas mengenai situasinya.
Melihat Elva yang sedikit sibuk itu, Randika menghampirinya dan mengatakan. "Hei, kau ingat tidak malam di mana kita berdua berada di hotel?"
Mendengar hal ini, Elva segera menutup teleponnya dan menoleh dengan wajah serius.
"Jangan pernah menyinggung hal itu lagi. Kata Elva dengan nada serius. "itu adalah momen memalukan dalam hidupku, jangan pernah membahasnya!"
"Baiklah." Randika lalu menyeringai. "Tapi malam itu aku menyelamatkan nyawamu. Jadi bukankah aku harusnya mendapatkan hadiah?"
Elva mengerutkan dahinya. "Aku kan sudah menolongmu di kota Merak!"
"Hei, hei, jelas kurang lha. Aku telah menyelamatkanmu 2x yaitu ketika aku membawamu ke rumah sakit dan malam itu di hotel. Jadi kalau dihitung dengan hari ini, kau masih hutang budi denganku sebanyak 2x." Wajah Randika terlihat serius.
Elva merasa pusing. Kenapa otak pria ini berputar kalau menyangkut masalah tidak penting?
"Jadi apa maumu?" Elva menatap Randika.
"Tentu saja bibirmu itu." Randika dengan cepat bergerak ke depan Elva, memeluk pinggangnya dan mencium bibirnya.
Tindakan tiba-tiba ini membuat Elva tidak bisa bereaksi sama sekali. Ketika dia ingin menepis tangan Randika yang ada di pinggangnya, Randika sudah terlebih dahulu menciumnya. Randika benar-benar menghisap habis bibir lembut itu.
Jelas bahwa Elva tidak ahli dalam berciuman, hal ini membuat Randika tertawa dalam hatinya. Di tengah ciumannya itu, tangannya mulai menjelajahi tubuh Elva.
Merasakan tubuhnya dalam bahaya, Elva bereaksi dengan cepat. Dia ingin mendorong Randika tetapi kedua tangannya ditahan oleh tangan kiri Randika.
Bajingan!
Elva benar-benar marah, dadanya sudah diraba-raba oleh Randika.
Randika merasakan keempukan yang dipaksa bersembunyi di balik perban, dia merasa sayang bahwa Elva harus menyembunyikan kedua gunung ini.
Tangan Randika juga berenang-renang di punggung Elva, dia merasakan kelembutan yang luar biasa.
Di tengah momen panas ini, Elva akhirnya menemukan cara untuk lepas yaitu menendang kaki Randika!
Ah!
Tulang keringnya yang ditendang itu membuatnya menghela napas dalam-dalam. Dia tidak menyangka bahwa Elva akan memakai cara licik seperti itu.
Elva memanfaatkan momen ini untuk kabur dari pelukan Randika. Lalu tanpa berkata apa-apa, salah satu kakinya sudah melayang tepat ke arah wajah Randika!
Kaki putih itu bagaikan cambuk mengarah wajahnya. Namun, dengan mudah Randika menahannya dengan satu tangan.
"Jangan begitu, hadiahku belum selesai kunikmati." Randika tersenyum nakal pada Elva.
Elva, yang tidak peduli dengan kata-kata Randika, menggunakan kakinya yang tertangkap itu sebagai tumpuan untuk meloncat dan menghantam kepala Randika dengan kaki kirinya.
Randika yang terkejut segera melepas genggamannya dan bersembunyi di dalam kamar.
"Hei, apa kau ingin membunuhku?" Randika berteriak dari balik pintu, dia benar-benar lincah bagai monyet.
"Aku heran kenapa kau masih malu-malu seperti itu? Bukankah kita sudah pernah mengalami yang lebih intim daripada ini?" Mendengar hal ini, Elva menggigit bibirnya dan mendobrak masuk. Tanpa berkata-kata, dia lalu melayangkan tendangan lagi ke arah wajah Randika.
Kali ini Randika tidak bersembunyi lagi. Malahan dia menangkap kaki Elva itu dan mendorongnya hingga ke dinding. Sekali lagi Elva sama sekali tidak bisa bergerak.
Posisi mereka benar-benar canggung, kaki Elva benar-benar melayang tinggi.
"Wah, wah, wah." Randika tiba-tiba tertawa nakal dengan tatapan mata penuh makna. Elva yang mendengarnya merinding, dia tahu bahwa Randika akan aneh-aneh lagi,
Tetapi, suara benda jatuh dari luar pintu mengagetkan mereka berdua. Saat mereka melihatnya, mereka melihat ada anak kecil yang menatap mereka. Ternyata suara itu berasal dari mainannya yang jatuh.
"Ma, ada orang yang lagi gulat seperti mama dan papa kemarin." Anak itu berteriak keras pada ibunya.