Chapter 20: Tenanglah, Aku Sudah Ada di Sini
Chapter 20: Tenanglah, Aku Sudah Ada di Sini
Kegaduhan yang berasal dari luar ruangan mengejutkan Randika. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Apakah perusahaan Cendrawasih ini diserang?
Apabila dia mendengarkannya dengan seksama, dia dapat mendengar orang-orang berteriak, benda-benda pecah, dan dentingan logam.
Randika mulai merasa semua masuk akal. Inggrid baru saja diracuni, sekarang terdengar kegaduhan hebat di luar ruangan, ini semua pasti serangan yang sudah terencana.
Randika hanya berharap bahwa ruangan penelitiannya tidak disentuh sama sekali.
Randika hanya bisa berdoa selagi masih menyalurkan tenaga dalamnya ke Inggrid. Selama suara gaduh itu bukan berasal dari arah ruangannya, dia tidak perlu khawatir. Namun ketika dia terus mendengarkan suara-suara tersebut, wajahnya semakin pucat.
Suara gaduh tersebut, yang dicampur oleh teriakan orang-orang dan benda-benda pecah, terdengar dari ruangan sebelahnya yaitu ruangan miliknya.
Wajah Randika semakin muram. Dia bisa mendengar beberapa orang mengatakan, "Hancurkan itu, banting semua alat-alat yang ada dan jangan lupa bakar semua kertas yang ada."
Mati! Semua orang itu nyari mati!
Randika sudah di ambang marah. Tenaga dalamnya mulai bergejolak. Dia ingin memancarkan aura membunuhnya tetapi erangan Inggrid membuat dirinya tersadar kembali.
Sekarang adalah waktu krusial untuk melawan dan menaklukan racun yang ada di dalam tubuh Inggrid. Sekarang dia memiliki 2 pilihan. Pertama, dia bisa melupakan pengobatan Inggrid dan menangkap para penjahat yang berani menyerang ruangan miliknya. Kedua, dia bisa melupakan mereka dan meneruskan pengobatan ini dan nyawa Inggrid terselamatkan.
Apabila dia memilih pilihan pertama, maka pengobatannya selama ini malah memberikan dampak buruk pada tubuh Inggrid. Di saat yang sama pula, ketika dia menarik kembali tenaga dalamnya dia juga akan menghadapi tenaga dalam yang bersifat negatif di dalam tubuhnya!
Randika pun sudah membulatkan tekad. Dia juga tidak ingin kehilangan istrinya yang dia sayangi ini.
Mata Randika tampak bersinar. Dia harus menuntaskan penyaluran tenaga dalamnya ini.
Sambil menghiraukan suara yang berasal dari luar, Randika menenangkan dirinya kembali dan berkonsentrasi kembali untuk fokus mengeluarkan racun yang ada di tubuh Inggrid.
Setelah beberapa saat, tenaga dalam Randika yang tidak teratur kembali menjadi tenang. Ia lalu menyebar kembali dalam tubuh Inggrid, memaksa racun untuk keluar.
Selama proses ini berlangsung, suara gaduh tersebut tidak kunjung selesai. Malah terdengar suara derapan kaki orang banyak yang datang. Sepertinya tim keamanan perusahaan ini telah datang. Setelah itu terdengar suara orang bentrok dan orang terjatuh. Sepertinya terjadi pertarungan yang sengit.
Setelah beberapa menit, pertarungan itu nampaknya telah selesai. Suara gaduh perlahan tidak terdengar kembali dan suara langkah kaki orang-orang menjadi tenang kembali.
Pengobatan Inggrid sudah mencapai tahap akhir, Randika kembali berkonsentrasi. Dia menutup matanya dan mengarahkan tenaga dalamnya. Dengan satu dorongan kuat dari tenaga dalam Randika, Inggrid tidak bisa menahan dirinya untuk memuntahkan seteguk darah hitam dari mulutnya.
"Sayangku, kau sudah tidak apa-apa tetapi jangan memaksakan diri untuk bergerak terlebih dahulu dan beristirahatlah. Aku akan melihat keadaan di luar." Setelah memastikan Inggrid terlentang tenang di mejanya, Randika bergegas keluar ruangan dan menuju ruangannya.
Kecepatan lari Randika sangat cepat bahkan bisa dikatakan bahwa dia melebur menjadi cahaya.
Di saat dia sampai di luar ruangannya, terdapat beberapa orang keamanan yang tergeletak di lantai dan mengerang kesakitan. Terdapat pecahan kaca di mana-mana. Alat-alat miliknya ada yang sampai berserakan di luar ruangan.
Melihat hal ini membuat Randika murka tetapi dia masih menahan dirinya untuk tidak meledak dan segera menuju ruangannya. Melihat isi ruangannya, membuat dia semakin murka dan tidak bisa menahan dirinya.
Ruangan penelitiannya benar-benar hancur total. Meja dan kursi semuanya terbalik, alat-alat miliknya sudah terbanting, semua peralatan kaca seperti tabung sudah menjadi pecahan dan kertas-kertas hasil penelitian mereka sudah hangus terbakar, semua komputer sudah remuk dan peralatan medis sebelumnya yang dia beli sudah pada berserakan di lantai dan isinya tumpah ke mana-mana.
Orang-orangnya memiliki beberapa reaksi tersendiri, ada yang menangis, ada yang ketakutan, ada yang masih bingung dengan apa yang telah terjadi.
Viona juga tidak terkecuali. Dia gemetar ketakutan sambil memeluk lututnya. Melihat Randika yang datang, dia tidak menahan diri untuk melompat ke pelukannya.
"Hiks Hiks "
"Tenanglah, aku sudah ada di sini." Randika berusaha menenangkan Viona dan mengusap air matanya.
"Apa yang terjadi? Bisakah kau jelaskan detailnya?" Tanya Randika.
Viona yang masih tersedu-sedu mengatakan, "Barusan saja sekumpulan orang membawa tongkat logam tiba-tiba masuk ke dalam ruangan. Mereka mulai membanting, memukul dan membakar semua yang ada di sini. Tuan Kelvin hendak mencegah mereka tetapi gagal dan terluka."
Randika kemudian melihat beberapa ahli parfum dan Kelvin masih tergeletak kesakitan. Dia tanpa sadar meminta maaf dalam lubuk hatinya.
"Ketika tim keamanan tiba, kedua pihak mulai bentrok dengan sengit. Tetapi orang-orang itu ada yang membawa pisau dan menusuk orang-orang kita." Kata Viona sambil bergetar ketakutan.
Randika kemudian memeluk erat Viona, tetapi dalam hatinya dia berpikir dengan cepat. Penyerangan di ruangan penelitianku dan Inggrid yang keracunan, apakah semua serangan ini ditujukan untuk perusahaan ini ataukah diriku?
Jika semua hal ini ditujukan pada dirinya maka seharusnya Inggrid tidak sampai kena musibah. Musuh hanya akan mengobrak-abrik ruangan miliknya. Apabila musuh sudah mengetahui keberadaan dirinya yang ada di perusahaan Cendrawasih ini, tidak heran mereka memakai taktik seperti ini.
Untuk sekarang, teka-teki ini masih banyak bolongnya.
"Randika bagaimana ini? Mereka terlihat seperti preman dan pembunuh." Kata Viona ketakutan. Bagaimana kalau mereka kembali ke sini?"
"Viona tenanglah, kau tidak usah memikirkan hal yang aneh-aneh. Istirahatlah, aku berjanji bahwa mereka tidak akan berani macam-macam dengan kita lagi." Randika kemudian mengusap rambut Viona untuk menenangkan dirinya. Dia lalu berpikir, Kembali? Jangan harap mereka bisa berjalan ke sini kembali setelah aku mematahkan kaki mereka setelah ini.
"Viona aku minta kamu untuk istirahat dan percayakan hal ini padaku." Randika kemudian mengangkat kepala Viona dan mencium keningnya.
"Baiklah kalau begitu, tolong jagalah dirimu dengan baik." Kata Viona.
"Jangan khawatir, atasanmu yang tampan ini pasti baik-baik saja."
Setelah Viona pergi, Randika mengobati korban-korban luka yang masih tergeletak dengan menyalurkan tenaga dalamnya.
Dia juga melakukan hal ini pada orang-orang yang ada di luar ruangan. Setelah selesai, dia bertanya pada salah satu orang keamanan. "Apakah kau ingat ciri-ciri orang yang menyerang kita?"
"Semua orang yang datang menyerang memakai topeng dan dia menyandera salah satu orang kita. Berkat itu mereka bisa memiliki akses untuk pergi ke lantai ini. Ini adalah serangan yang terencana." Kata salah satu orang keamanan.
"Apakah kamu ingat ciri-ciri khusus seperti tato atau lainnya?"
"Tidak, keadaan sudah kacau saat kami datang. Saat kami datang, teman kami yang disandera itu langsung dibunuh." Katanya sambil menggelengkan kepalanya.
Randika kemudian menanyakan ke orang lain, "Apakah ada di antara kalian yang ingat dengan jelas?"
Semua orang yang di sana juga menggelengkan kepalanya, sepertinya mereka juga tidak tahu terlalu secara mendetail.
Masalah ini tergolong rumit. Hati Randika mengepal. Kalau petunjuknya hanya orang yang memakai topeng maka hal ini sangat sulit dilacak. Meskipun kota Cendrawasih tergolong kecil, di dalamnya terdapat banyak sekali kelompok preman ataupun penjahat. Mustahil dirinya dapat memeriksa mereka semua. Bahkan dengan bantuan Shadow pun, hal ini akan membutuhkan waktu.
"Bagaimana dengan kamera?" Tanya Randika. "Perusahaan seperti kita ini pasti memiliki kamera keamanan di setiap sisinya."
"Sayangnya itu percuma." Kata salah satu petugas keamanan. "Mereka benar-benar sudah siap. Selain topeng untuk menutupi wajah, mereka juga mematikan kamera keamanan sebelum mereka tiba di gedung ini."
Randika kembali mengerutkan dahinya. Sepertinya lawannya kali ini benar-benar siap.
Apakah benar tidak ada jejak yang tertinggal?
Randika menampar dirinya sendiri agar dia bisa lebih fokus.
Dia lalu berdiri dan berjalan menuju lift. Dia memutuskan untuk mencari kebenaran ini di dunia bawah tanah yang ada di kota Cendrawasih. Mungkin dari situ dia akan menemukan jejak dan mencari siapa pelaku sebenarnya.
Di saat dia hendak pergi, seorang petugas keamanan mencegatnya.
Ketika Randika menoleh petugas itu mengatakan, "Aku berhasil mencopot salah satu topeng di saat kami bentrok tadi. Aku merasa bahwa mukanya sangat familiar."
Oh?
Seketika itu juga wajah Randika terlihat tertarik, dia segera mendatangi petugas tersebut. "Bagaimana ciri-cirinya?"
"Kalau tidak salah dia memiliki julukan sebagai si rubah. Rambutnya merah, hidungnya memakai tindikan dan ada bekas luka sayatan di bawah bibirnya."
"Aku sering melihat orang ini di salah satu bar di jalan Macetan bernama Drunken."
Drunken bar di jalan Macetan?
Randika tersenyum.
.....
Malam hari
Seperti malam-malam sebelumnya, kota Cendrawasih kembali diselimuti oleh kegelapan malam. Lampu-lampu menghiasi setiap sisi jalan dan kehidupan malam pun mulai muncul.
Di kota ini pada malam hari, di pojokan jalan yang gelap, terdapat kejahatan di mana dosa berkumpul.
Jalan Macetan, Drunken Bar.
Si rubah dengan rambut merahnya masuk ke dalam bar. Suara musik metal yang keras bisa membuat telinga orang sakit, tapi dia sudah terbiasa dengan hal ini. Dia pun ikut menari mengikuti alunan lagu.
Para pengunjung lainnya sedang menari-nari di lantai dansa. Ketika si rubah menerobos lantai dansa ini, tangan kanannya meremas bokong seorang wanita. Ketika wanita itu menoleh, si rubah sudah tidak bisa terlihat.
Dengan dipenuhi sebuah senyuman, Dimas menyambut si rubah yang mendatanginya.
"Hei kawan lama." Kata si rubah ketika melempar sejumlah uang padanya.
Pramusaji kemudian membawakan dua gelas anggur kepada mereka dan mengambil uang tersebut.
"Sepertinya kau berhasil melakukan sebuah pekerjaan besar." Kata Dimas.
"Benar sekali." Si rubah mengajaknya bersulang dan mengambil dua kantong kecil yang ada di meja.
"Ulah apa lagi yang kau lakukan kali ini?"
"Hanya masalah kecil berkaitan dengan pekerjaan kelompokku." Si rubah kembali meneguk minumannya.
"Siapa sasaranmu kali ini?"
"Lebih baik tidak kuberitahu biar kau tidak terlibat."
"Hahaha! Bagus, bagus, itu benar." Keduanya lalu tertawa dan meninggalkan meja, si rubah kemudian berjalan sendiri menuju ruangan yang ada di belakang bar.
Setelah masuk dalam ruangan dan menutup pintu rapat-rapat, si rubah mengeluarkan isi kantong kecil tadi dan menghirupnya.
"Ini baru nendang!"
Si rubah kemudian menutup matanya dan merasa bahwa dirinya melayang ke atas langit bersama para bidadari.
"Tempat ini selalu memiliki barang terbaik." Si rubah memuji Dimas. Dia kemudian menutup kembali matanya namun dia merasa ada yang aneh.
Dia lalu membuka matanya dan mengangkat kepalanya, dia melihat orang asing sudah berada di hadapannya.
Orang ini berdiri sendirian dengan wajah datar yang cukup menakutkan.
SI rubah kemudian mengusap-usap matanya, apakah ini halusinasi? Bukankah sebelumnya dia sudah memastikan ruangan ini aman dan hanya ada dirinya sendiri di dalamnya?
Selagi si rubah kembali mengusap matanya, orang itu bertanya. "Bagaimana? Enak?"
"Lumayan Hei siapa kamu?" Tanpa sadar si rubah menjawab pertanyaannya tetapi dia langsung curiga dengan identitas orang ini. Setelah dia melihat lebih jelas, orang ini sedang memegang sebuah pisau di tangannya!
"Kalau begitu, aku akan buat harimu lebih enak lagi!" Randika mendekati si rubah dengan senyuman lebar. Tetapi si rubah merasa bahwa aura yang dipancarkan Randika sangat berbahaya.
"Aku akan membunuhmu duluan" Si rubah kemudian mengambil pisau yang ada di samping tempat duduknya dan menebas ke arah Randika. Suara raungan perangnya terdengar keras sebelum pada akhirnya tidak terdengar lagi.
Tangannya yang mengayunkan pisaunya tiba-tiba tergenggam erat, satu detik kemudian wajah si rubah menegang. Suara tulang yang remuk terdengar renyah dan rasa sakit yang luar biasa segera mengikutinya. Raungan perangnya tadi berubah menjadi rintihan kesakitan.
Namun, di saat si rubah ingin berteriak untuk melampiaskan rasa sakitnya, kepalanya sudah dibanting pada meja kaca yang ada di ruangan.
Duak!
Untungnya meja kaca itu tidak pecah namun sekarang tubuh si rubah ditindih oleh pria itu dari belakang.