Chapter 25: Empat Kakek
Chapter 25: Empat Kakek
Karena tujuan Randika adalah tujuan akhir, dia adalah penumpang terakhir yang turun dari bus. Setelah menurunkan Randika, bus menjadi kosong.
Pada saat dia keluar, Randika segera mengendurkan otot-ototnya sambil melihat matahari yang mulai turun. Hari sudah mulai sore.
"Aku tidak tahu apakah para kakek itu rindu padaku." Kata Randika dengan tersenyum.
Keempat kakek yang membesarkannya adalah sesuatu yang disebutnya sebagai keluarga. Sejauh dia mengingat, dia tidak pernah memiliki ingatan tentang orang tuanya. Sampai dengan umur 15, dia tinggal bersama para kakeknya itu.
Desa yang dia kenal, gunung yang dia daki setiap hari, sebentar lagi dia akan melihat itu semua. Randika kembali meregangkan tangannya dan ingin berteriak keras-keras.
"Permisi, kau menghalangi jalanku." Sebuah suara muncul dari belakangnya.
Randika menoleh dan menemukan bahwa dia menghalangi seorang bocah yang sedang bersepeda. Dia meminta maaf dan menyingkir dari tengah jalan.
Burung-burung berkicau hendak pulang ke sarang mereka.
Di saat Randika berjalan, dia menemui seorang pria tua sedang naik traktor miliknya. Dia lalu minta numpang ke pria tua yang sedang merokok itu. Suara traktor sangatlah keras jadi sedikit mengganggu Randika.
"Jarang anak muda yang betah naik mesin tua ini." Kata pria itu sambil terus merokok. "Para pemuda di desa tidak tahu betapa bergunanya traktor ini. Sudah 10 tahun traktor ini berkendara dan masih saja hanya aku yang bisa mengendalikannya."
Sepertinya Randika salah menumpang. Pria tua ini ternyata cukup cerewet dan suara traktornya sangat mengganggu.
"Kamu baru kembali dari kota?" Tanya pria tua itu dengan gigi kuningnya.
Randika mengangguk. "Iya, aku bermaksud untuk menemui kakekku yang ada di kaki gunung."
"Cucu yang baik hati." Pria tua itu mengangguk. "Sudah jarang ada pemuda sepertimu. Anakku sendiri saja baru pulang tahun baru nanti."
"Hahaha! Anakmu mungkin terlalu sibuk mencari uang." Kata Randika sambil tersenyum.
Pak tua itu kembali mengeluarkan rokok dan mengatakan, "Apa pekerjaanmu di kota?"
"Aku seorang manajer restoran." Kata Randika.
"Wah hebat sekali, hebat sekali." Kata pria itu itu sambil tertawa. "Seorang manajer berarti sudah tinggi jabatannya, kalau tidak salah Erwin dari desa kami juga sudah menjadi manajer. Sekarang katanya dia sering memberikan uang ke orang tuanya. Kalian semua memang hebat."
Setelah beberapa lama berbincang, hari sudah semakin gelap. Randika kemudian mengangkat kepalanya dan melihat langit, gunung, alam yang dia kenal. Di bawah kaki gunung itu ada sebuah desa yang tidak asing baginya.
"Terima kasih pak, saya turun di sini saja." Kata Randika sambil meloncat turun.
"Baiklah nak, jaga dirimu baik-baik." Pria tua itu tertawa dan pergi dengan traktornya.
Desa Jagad!
Desa kecil yang diapit oleh tiga gunung, Randika masih bertanya-tanya kenapa kakeknya ini membangun desa di tempat ini. Salah satu kakeknya hanya menjelaskan bahwa tempat desanya berdiri adalah tanah yang terberkati.
Randika segera berlari ke arah desa tersebut. Saat dia sudah dekat, terdengar suara batuk yang paling dia kenal.
Kakek anakmu telah kembali!
Ketika dia bergegas menuju pintu, Randika dihentikan oleh sebuah suara. "Aku tahu kalau kamu sudah bukan anak kecil lagi, tapi bisa-bisanya kamu pulang semalam ini?"
Randika kaget karena kakek-kakeknya itu seakan sudah tahu bahwa dialah yang di balik pintu. Randika segera membuka pintunya dan melihat tiga orang tua sedang duduk di tengah ruangan yang terang.
Duduk di sebelah kiri adalah kakek keempat yang memakai jubah putih dengan janggutnya yang melayang di dadanya. Dengan wajahnya yang terlihat seperti anak-anak itu, keriputnya hampir tidak terlihat.
Duduk di sebelah kanan adalah kakek ketiga yang memakai baju serba hijau. Karena dia ahli dalam ilmu pengobatan, bau yang dipancarkan kakeknya ini sangat pekat dengan tanaman obat. Kakeknya ini juga memiliki janggut yang panjang bagai seorang pertapa.
Kakek yang duduk di tengah, kakek kedua memakai jubah biru. Kakek ini menghela napas dengan kuat dengan wajahnya yang terlihat serius. Namun ketika Randika masuk, kakek ini tidak bisa menahan senyumnya.
"Kakek, aku kembali."
"Dasar bocah berengsek! Kukira kau sudah lupa sama rumahmu, ternyata kau ingat juga dengan kami." Suara kakek ketiga dengan cepat menyambutnya. "Aku masih ingat bagaimana kau merusak tanaman obatku."
"Jangan begitu dong kek. Aku masih kecil dan tidak tahu apa-apa, bukankah kau juga memiliki banyak lahan tanaman obat lainnya?"
"Lho bocah kita sudah berani melawan. Yang kau hancurkan itu harta karunku tahu!" Tatapan mata kakek ketiga semakin serius.
"Sudah, sudah, kemarilah. Biarkan kakek memelukmu dulu." Kata kakek keempat dengan gembira.
Randika maju dan memeluk kakek keempatnya itu.
"Haha! Sesuai dugaanku, kau semakin tampan setiap harinya. Apakah kau sudah berhasil memikat hati perempuan cantik?" Kata kakek keempat dengan bangga. "Tapi kau tidak boleh lupa dengan Safira. Terakhir kali aku lihat, dia juga menjadi perempuan yang menawan."
Wajah Randika memerah. Dia lupa bahwa kakek keempatnya ini orang yang genit.
Pada saat ini, sebuah garpu melayang tepat di depan wajahnya. Randika mengelaknya dan menoleh ke arah kakek kedua sambil mengambil garpu yang melayang itu.
"Tidak ada kata lari dalam bela diri." Kakek kedua tersenyum kecil. "Bukankah aku sudah mengajarkanmu itu? Apakah kau sudah melemah?"
Randika kemudian meletakkan garpu itu dan mengatakan, "Kakek pertama ada di mana?"
"Dia masih mengurung dirinya." Kata kakek ketiga. "Tunggulah beberapa hari lagi."
Randika mengangguk. Dari antara semua kakeknya, kakek pertama adalah yang paling misterius. Sejak dia masih kecil saja, dia sudah jarang melihatnya. Dia sering mengurung dirinya dan Randika masih tidak tahu mengapa dia melakukannya.
"Omong-omong kenapa kalian tahu bahwa aku akan pulang?" Randika masih bingung.
Kakek keempat kemudian menghampiri Randika dan memukul pelan kepalanya, "Apakah kau sudah lupa dengan kemampuan kami?"
Randika tersenyum, "Tentu saja tidak. Aku sangat ingat ajaran kalian yang seperti neraka itu, tidak ada manusia yang seharusnya bisa selamat dari latihan semacam itu. Tapi berkat itu juga aku bisa bertahan hidup sampai hari ini. Tetapi kek, aku berharap kasih sayang kau berikan sama seperti orang tua lainnya."
"Ha? Bagaimana bisa kau bandingkan kami dengan orang tua lemah di kota? Kau benar-benar anak tidak tahu terima kasih."
"Maafkan aku kek, jangan marah." Kata Randika sambil tertawa. "Aku tahu kok kalian sangat menyayangiku dan Safira."
Kakek kedua tertawa, "Kalau begitu, cepat katakan kenapa kau pulang? Apakah kau perlu salah satu keahlian kakekmu ini?"
Ketika mendengarnya, mata Randika segera bersinar. Dia mulai menghentikan basa-basinya dan menuju topik utama.
Sambil makan, Randika mengatakan, "Kakek ketiga, akhir-akhir ini badanku sering di luar kendaliku. Apakah ada yang salah denganku? Bisakah kau membantuku?"
Kakek ketiga mengelus janggutnya, "Kau kira aku dokter?"
"Bagaimana mungkin aku membandingkanmu dengan dokter?" Muka Randika pura-pura marah. "Seorang dokter tidak bisa dibandingkan dengan Dewa Pengobatan sepertimu kek. Siapa memangnya yang meremehkanmu? Sini akan kuhajar dia."
Melihat sandiwara Randika, kakek ketiga tersenyum, "Hahaha! Dasar bocah munafik."
"Sini ulurkan tanganmu. Kakak keempat tolong bantu aku"
Meletakkan mangkuk makannya, Randika segera menjulurkan tangannya.
Kakek ketiga dan keempat mulai memeriksa Randika. Mulai dari denyut nadi, keadaan fisik hingga luka-luka yang ada di tubuhnya. Ketika mengukur denyut nadinya, kakek ketiga kaget.
Setelah beberapa saat, kakek ketiga berdiri. Dia mengambil kotak kayu dan membukanya. Di sana ada beberapa ukiran.
Ini adalah papan Pa Kua. Papan ini digunakan untuk mengukur energi kehidupan dan kejahatan di kehidupan seseorang.
Setelah meletakkan papan ini di meja, kakek ketiga menutup matanya dan muncul sebuah arah.
"Xun Gua!" Kakek ketiga benar-benar tertegun dengan hasilnya.
"Apa artinya kek?" Kata Randika dengan cemas.
Kakek ketiga tidak berbicara, hanya mengelus janggutnya.
Kakek kedua segera menghampirinya dan mengatakan, "Nak, beristirahatlah dan tunggu panggilan kami."
"Oh." Melihat muka serius para kakeknya itu, Randika jelas merasa gusar.
Ketika Randika sudah menghilang, kakek ketiga mengatakan, "Hasil dari heksagram ini tidak dapat aku mengerti. Heksagram utama mengarah pada Suifeng Xun yang berarti ikuti angin. Seorang pria bertindak berdasarkan tujuan hidupnya. Tetapi perubahannya adalah Shang Jiu yaitu Sembilan Teratas. Ketika Xun berada di bawah tempat tidur, dia akan kehilangan kekayaan dan senjatanya. Dia murni dan ganas. Seperti yang dikatakan gajah, Xun yang berada di bawah tempat tidurnya adalah orang miskin dan kehilangan segalanya."
"Jadi yang kau katakan adalah bocah kita itu dalam bahaya berdasarkan ramalanmu? Sepertinya dia sedang dalam pengawasan banyak orang. Ini benar-benar gawat." Kata kakek keempat, "Jika kita membiarkannya, Randika akan benar-benar mati."
"Apakah seserius itu?" Tanya kakek kedua.
"Apakah kita bisa membuat ramalan ini berubah?" Kata kakek keempat.
Kakek ketiga menggeleng. "Aku rasa tidak. Meskipun takdir bisa berubah-ubah, ramalan milik anak kita ini tidak bisa berubah. Aku tidak tahu cara mengubahnya."
"Kakak ketiga, carilah cara lain!" Kakek kedua terlihat cemas.
Kakek ketiga mengerutkan dahinya dan mengelus janggutnya. "Ini susah, kita hanya bisa membuat persiapan bagi Randika apabila situasi menjadi diluar kendali."
Kakek keempat menghela napas, "Sepertinya di luar sana banyak orang yang ingin mencelakai anak kita. Tadi aku melihat banyak sekali luka di tubuhnya."
"Apakah kita perlu menanyakan hal ini kepada kakek pertama?" Kata Kakek kedua.
"Itu tidak perlu." Kakek ketiga menambahkan, "Meskipun ramalan ini agak kabur hasilnya, dengan campur tangan kita mungkin kita bisa mengubahnya meskipun sulit."
"Sepertinya aku harus mengeluarkan pil obat harta karunku juga." Tambah kakek ketiga.
"Aku tidak menyangka bahwa harta karunku yang tersimpan selama puluhan tahun itu malah bocah itu yang akan memakainya."
....
Hari kedua
Randika yang baru bangun segera keluar dari kamarnya dan menyambut matahari pagi.
Ketiga kakeknya sudah ada di ruangan tengah.
Randika segera menghampirinya setelah meregangkan ototnya sebentar.
"Begini, kemarin hasil ramalan hidupmu sangatlah buruk. Berhati-hatilah di masa depan. Jangan percaya siapapun, ingat itu!" Kata kakek ketiga.
Tentu Randika sangat percaya dengan ramalan kakeknya ini. Karena kakeknya sudah bertitah seperti itu, jelas dia akan menurutinya.
"Kemarilah." Kata kakek ketiga sambil membuka kotak kayu yang berisikan peralatan medis dan jarum akupuntur.
"Buat apa ini?" Tanya Randika
"Untuk mengobatimu." Kakek ketiga mengerutkan dahinya. "Kalau aku tidak bisa melihat luka-lukamu, bagaimana mungkin aku bisa menyembuhkanmu?"
Randika tertawa dan dengan cepat melepas bajunya.
Teknik akupuntur kakek ketiga benar-benar enak, tidak ada rasa sakit yang terasa.
"Kamu ini juga dalam kondisi aneh. Luka-lukamu ini tidak bisa kusembuhkan secara total. Aku hanya bisa menggunakan teknikku ini untuk menghambatnya."
Randika sebenarnya tidak mendengar omongan kakeknya. Dia tersesat di perasaan nyaman ini, anggota badannya yang sebelumnya terasa sakit sekarang terasa nyaman.
Setelah beberapa lama, kakek ketiga mengeluarkan jarum-jarum tersebut. "Selain luka-lukamu itu, aku menemukan bahwa ada kekuatan misterius di dalam tubuhmu. Sepertinya kau membiarkan dia berada di tubuhmu terus-menerus dengan menggunakan sebuah obat, itu tidak baik bagi dirimu."
Kakek bisa melihatnya?
Dia tahu bahwa yang dimaksud kakeknya adalah ramuan X. Tetapi untuk mencegah kekuatannya itu memberontak, dia membutuhkan ramuan X jadi dia tidak terlalu mempunyai pilihan.
"Ambil ini."
Kakek keempat kemudian menyerahkan sebuah kotak kecil padanya. "Ingatlah ini, kalau kondisi nyawamu tidak terancam, jangan pernah membuka kotak ini!"
Randika mengangguk.
Kakek kedua di samping juga menambahkan. "Randika, semua ilmu bertarung milikku sudah aku turunkan padamu. Berlatihlah lebih banyak lagi dan jangan sampai kau karatan."
"Baik kek!" Kata Randika.