Chapter 368: Keresahan dalam Hati
Chapter 368: Keresahan dalam Hati
Melihat hal ini, semua penonton menjadi heboh.
"Tendangan Roberto melenceng!"
"Hei awas!" Teriak salah satu penonton ke arah Randika dan Hannah.
"Habis sudah orang itu, mana tendangannya keras lagi. Bisa-bisa gegar otak!"
Para penonton ini sudah tidak bisa apa-apa selain berteriak ke arah Randika. Mereka tahu dengan pasti tendangan Roberto kali ini benar-benar keras dan apabila mengenai kepala orang maka bisa-bisa dia gegar otak. Apalagi jarak Randika dan Hannah dengan lapangan sepak bola ini tidak terlalu jauh.
Pada saat ini, Randika sedang mengobrol dengan Hannah. Tiba-tiba, Randika merasa udara di sekitarnya robek dari arah sisi mereka!
"Kak awas!" Hannah yang menyadari bola itu akan mengenai Randika segera berteriak.
Randika menoleh dan menyadari bahwa benda asing tersebut ternyata sebuah bola sepak. Menghadapi bahaya ini, wajah Randika terlihat biasa-biasa saja.
Para penonton itu langsung mencaci maki Randika. "Bodoh! Cepat lari!"
"Tidak, ini sudah terlambat. Bola itu sudah terlalu dekat dan pria itu rupanya sudah pasrah."
Mereka menutup mata mereka semua karena tidak tega melihat kejadian ini tetapi apa yang terjadi membuat mereka ternganga lebar.
Menghadapi bola sepak yang menuju dirinya ini, Randika hanya mengulurkan satu tangannya.
Tangan kanannya itu terbuka lebar ketika bola sudah berada di jangkauan tangannya dan Randika berhasil menangkap dan menggenggam erat bola tersebut!
Hebat!
Bola tersebut berputar dengan cepat karena tendangan Roberto yang begitu dahsyat tetapi sekarang bola itu berhenti berputar dan beristirahat dengan tenang di tangan Randika.
Para penonton yang sudah merasa kasihan terhadap Randika langsung terkejut bukan main.
"Apa aku salah lihat?" Salah seorang langsung menggosok-gosokkan matanya dengan kuat.
"Ini pasti mimpi." Kata teman di sampingnya.
Jika itu bola tenis atau bola pingpong mungkin orang bisa menghentikannya, tetapi ini adalah bola sepak! Mustahil bisa menghentikannya tanpa terluka!
Terlebih lagi, Randika menangkapnya dengan tangan kosong yang di mana seharusnya bola itu terpental ataupun mendorong Randika ke belakang. Tetapi Randika tetap berdiri tegak dan menggenggam erat bola dengan satu tangan.
Semua orang yang melihat ini terpukau, akhirnya mereka baru mengomentari kejadian ini setelah beberapa saat.
"Apa dia kiper rahasia sekolah kita seperti Roberto?"
"Aku tidak tahu tetapi dia sangat hebat!"
"Sialan, orang asing ternyata kuat-kuat!"
"Hei, bukankah kejadian ini mirip dengan Shaolin Soccer?"
Di saat orang-orang berdiskusi, Roberto berlari menuju Randika dan Hannah berada.
"Kak, orang itu sepertinya sengaja." Hannah terlihat marah. Untung saja yang menjadi korban itu kakak iparnya, kalau orang lain maka bisa-bisa dia harus dilarikan ke rumah sakit.
Randika hanya menatap Roberto yang datang dan tidak berbicara sama sekali.
"Maaf bro." Kata Roberto sambil berwajah cemas. "Aku tidak sengaja menendangnya keluar lapangan, apa kalian baik-baik saja?"
Hannah langsung menunjukan taringnya, tetapi Hannah terpana ketika melihat Roberto.
Seumur hidupnya dia tidak pernah melihat lelaki setampan ini.
Ketampanannya sebanding dengan lukisan-lukisan agung dan kedua bola matanya penuh dengan semangat dan tekad yang kuat. Belum lagi bajunya yang menonjolkan kedua lengan yang besar dan berotot itu.
Ganteng sekali!
Hannah yang awalnya mirip seperti setan itu berubah menjadi gadis perawan yang malu-malu ketika melihat wajah tampan Roberto.
Dia tidak pernah mengira ada lelaki setampan itu di dunia ini.
Randika juga menatap wajah Roberto, hatinya sedikit mengepal. Entah kenapa Randika merasa ada sesuatu yang aneh, hal ini membuatnya resah.
"Maaf aku sama sekali tidak berniat melukai kalian, aku tidak menyangka tendanganku akan melenceng sejauh itu." Roberto kembali meminta maaf, kali ini dia meminta maaf sambil membungkuk.
"Tidak apa-apa, kami juga tidak terluka kok." Kata Hannah sambil tersenyum.
Roberto langsung tersenyum. "Baiklah kalau begitu, aku hanya khawatir kalian terluka gara-gara aku. Ah, bisa minta bolanya? Kita mau melanjutkan pertandingannya."
Randika hendak berbicara ketika Hannah tiba-tiba memotongnya. "Tentu saja!"
"Terima kasih." Kata Roberto sambil tersenyum. "Untuk menunjukan rasa terima kasihku, bagaimana kalau kita kapan-kapan nonton bioskop bareng? Anggap ini sebagai permintaan maaf dariku."
"Kamu baik sekali." Hannah makin lama makin sopan gaya bicaranya.
"Ah, maaf aku sudah dipanggil. Mengenai penawaranku, mungkin nanti kita bisa bicarakan lagi. Aku sementara ini tinggal di asrama lelaki di lantai 3 jadi mampir saja kalau kamu mau."
Melihat Roberto yang berlari kembali ke lapangan, Hannah menatapnya lekat-lekat.
"Kak, menurutmu dia ganteng atau tidak?" Kata Hannah sambil terus melihati punggung Roberto.
Wajah Randika terlihat aneh, adik iparnya ini tertarik sama laki-laki itu?
Randika tidak dapat mempercayai hal ini, dia langsung menarik tangan Hannah. Hannah lumayan terkejut karena dipaksa berjalan kembali. "Kenapa buru-buru kak?"
"Tidak apa-apa." Suasana hati Randika menjadi buruk.
"Lebih baik kita cepat pergi ke asramamu." Kata Randika.
Hannah menoleh ke belakang sambil menghela napas. "Sayang sekali hanya ada beberapa orang seperti lelaki itu tadi. Wajahnya begitu tampan dan sifatnya sudah seperti seorang pangeran. Benar-benar suami idaman."
"Hah? Kamu yakin tidak salah lihat?" Wajah Randika terlihat marah. "Ada pepatah yang mengatakan, hidup itu penuh dengan lelaki tampan tetapi hatinya belum tentu seperti penampilannya."
Hannah hanya tertawa. "Jika dunia ini penuh dengan laki tampan, kenapa aku tiap hari tidak melihatnya?"
"Tidak melihatnya?" Randika menoleh ke arah Hannah. "Bukankah kamu setiap hari melihatnya? Bukankah kamu sudah mengenal lelaki tampan yang elegan, pintar dan tangguh?"
Wajah Hannah terlihat bingung. Melihat kakak iparnya itu yang membusungkan dadanya, Hannah hanya bisa berkata dengan nada sinis. "Kak, jangan-jangan yang kakak maksud itu kak Randika?"
"Hahaha tepat sekali! Benar, kakak iparmu ini saking gantengnya, matahari tiap pagi itu menyinari wajahku dan bulan yang indah itu iri dengan wajahku! Kurang ganteng apa coba?" Kata Randika dengan bangga.
Hannah hanya menganggukkan kepalanya ketika Randika menyombongkan diri seperti itu, dia hanya bisa tertawa dalam hati. "Iya, iya, kak Randika memang tampan. Omong-omong apa kakak pernah berkaca akhir-akhir ini? Mungkin mata kak Randika sudah rusak."
Randika terkejut ketika mendengarnya, berarti maksud adik iparnya ini ketampanannya ini cuma sebuah ilusi?
Sialan, bisa-bisanya dia meremehkanku!
Hannah yang suasana hatinya sedang baik ini menambahkan. "Sudahlah kak, kenapa kak Randika bandingin diri sama karya agung Tuhan? Kalau diumpamakan ya, laki-laki tadi itu sebuah mawar dan kak Randika itu cuma bunga biasa jadi mana bisa dibandingkan?"
"Oh ya? Bukankah aku menikahi kakakmu yang disebut-sebut perempuan tercantik di kota ini?" Kata Randika sambil melirik.
Hannah hanya berkata sambil cemberut. "Itu karena selera kakakku aneh!"
Keduanya terus berdebat di perjalanan mereka menuju asrama perempuan.
"Han, apa menurutmu laki bernama Roberto itu familier?" Randika terus kepikiran dengan wajah Roberto. Entah kenapa dirinya merasa resah ketika melihat sosok Roberto.
Insting seperti ini tidak pernah mengecewakan Randika, banyak kejadian dirinya selamat karena mempercayai instingnya.
Oleh karena itu, Randika terus menerus mengerutkan dahinya.
"Kak, sepertinya kak Randika itu Cuma iri karena dia lebih ganteng dari kak Randika." Hannah mengerutkan dahinya. "Bagaimana mungkin kakak pernah melihat wajahnya? Bukankah dia siswa baru dari program pertukaran pelajar dari luar negeri?"
Benarkah?
Hati Randika masih penuh dengan rasa curiga, apa instingnya itu salah?
Mereka akhirnya sampai di asrama perempuan. Setelah berpamitan, Randika mulai berjalan keluar menuju gerbang. Selama perjalanan, Randika terus menerus memikirkan Roberto.
Dia memiliki beberapa kecurigaan. Bola yang ditendang Roberto jelas ditujukan menuju dirinya dan tidak ada mahasiswa yang bisa memiliki tendangan sekencang itu. Tetapi Randika tidak memiliki bukti kuat untuk mendukung teorinya ini.
Mengingat bagaimana senyuman Roberto yang begitu hangat, Randika merasa tidak nyaman melihatnya. Dia selalu merasa di balik senyuman yang hangat, pasti ada sesuatu yang disembunyikan oleh orang. Seolah-olah Randika merasa bahwa senyuman Roberto itu adalah sebuah topeng. Di balik topeng itu barulah sifat asli Roberto berada.
Roberto orang ini mencurigakan!
Entah kenapa Randika tidak bisa melepaskan Roberto dari benaknya, jadi dia memutuskan untuk menyelidiki siswa baru itu.
Mengambil HP miliknya, Randika menekan sebuah nomor. "Halo, ini Ares."
"Apa yang bisa saya bantu tuan?" Suara dari balik telepon ini benar-benar tenang dan tegas.
Saat Dion dkk datang ke Indonesia atas permintaannya, Yuna juga mengirim beberapa anggota ke Indonesia. Jadi bisa dikatakan bahwa beberapa elit dari pasukan Ares bersembunyi di Cendrawasih dan kota-kota penting lainnya. Tentu saja, setiap individu memiliki tugas masing-masing dan sekarang yang ditelepon oleh Randika merupakan anggota intelijensi.
"Pergi dan selidiki orang bernama Roberto, dia merupakan murid internasional dari universitas Cendrawasih." Kata Randika.
"Siap tuan." Jawabnya.
Setelah menutup teleponnya, Randika berniat mencari Christina tetapi dia tidak tahu di mana gedung dia mengajar. Jadi mau tidak mau dia membuang ide ini.
Setelah itu, Randika berjalan menuju gerbang kampus dan berniat untuk pulang. Ketika sesampainya Randika di sana, Roberto berdiri di kejauhan dan menatap Randika tanpa ekspresi.
Wajah Roberto yang tanpa ekspresi itu tiba-tiba berubah menjadi wajah penuh amarah.
KRAK!
Bolpen yang dipegangnya itu tiba-tiba hancur menjadi dua.
Cepat atau lambat aku akan membunuhmu!
Apa yang telah kamu lakukan padaku, aku akan membuatmu menerimanya 1000x!
Randika, kamu akan mati di tanganku!