Chapter 400: Lagi-lagi Diganggu
Chapter 400: Lagi-lagi Diganggu
Karena kamarnya ini berbagi dengan pasien lain, mereka memutuskan untuk melakukannya di bawah selimut. Setelah memastikan tidak ada yang melihatnya, Viona mengulurkan tangannya ke bawah selimut.
Randika tersenyum lebar. Melihat wajah malu Viona yang sekarang, dia tidak bisa membayangkan bagaimana betapa merahnya wajahnya nanti ketika dia menindihnya di atas tempat tidur.
Dibandingkan dengan istrinya, sifat Viona ini benar-benar polos dan pemalu.
Tangan Viona mulai menyentuh paha Randika dan mulai beranjak ke bagian selangkangan.
Untuk membantu Viona, Randika sudah duduk dengan tegak dan menutupi sisinya dengan bantal. Dengan ini orang-orang tidak dapat melihat apa yang mereka lakukan.
Hati Viona benar-benar bergetar, wajahnya sudah semerah tomat. Di selangkangan Randika, ada semacam sosis yang panas. Dia langsung teringat dengan adegan terakhir di rumahnya.
"Vi" Randika memanggilnya agar dia dapat memulainya. Dengan tekad yang bulat, tangan Viona mulai bergerak. Benda itu makin panas dan makin membesar.
Meskipun Randika masih memakai celananya, dia dapat merasakan sensasi dari tangan Viona. Sensasi aneh ini membuatnya lebih terangsang daripada tidak memakai celana. Meskipun dia ingin Viona memegangnya secara langsung, bisa gawat kalau dia menodai selimut rumah sakit.
Jantung Viona berdebar kencang, sepertinya dia merasa bahwa dirinya telah dilihat oleh pasien sebelah.
Ketakutan ini dan keinginan membantu Randika bercampur aduk di dalam hatinya dan membuat jantungnya berdebar kencang.
Benar-benar menegangkan.
Tetapi tanpa diduganya, dia mulai menikmatinya.
Beberapa kali mencoba, Viona belum pernah menyentuh milik Randika.
Dan sekarang dia menyentuhnya di tempat umum!
Randika sudah tidak tahan lagi, dia ingin Viona lebih cepat lagi menggosoknya. Tetapi tiba-tiba, seorang dokter dan beberapa perawat masuk dan membuka tirai mereka.
"Pasien Randika."
Perawat itu berkata pada si dokter dan memberikannya dokumen terkait. Hal ini langsung membuat takut Viona dan langsung menarik tangannya dengan cepat.
SIALAN!!
Randika benar-benar kehabisan kata-kata. Lagi-lagi dia diganggu di saat paling krusial. Namun ketika melihat dokter dan para perawat itu, dia tidak punya hak untuk marah.
Mereka hanya melakukan pekerjaan mereka.
Tetapi berhenti di tengah-tengah seperti ini membuat hati Randika tidak nyaman. Selangkangannya itu terasa sesak dan panas.
Dan Viona yang berwajah merah itu segera berdiri dan memberikan tempat agar si dokter dapat memeriksa Randika.
"Tidak apa-apa, kamu bisa duduk. Aku hanya datang untuk melihat keadaannya." Kata si dokter sambil tersenyum.
Viona bahkan tidak berani melihat wajah si dokter, dia benar-benar malu hampir kepergok seperti ini. Jika memikirkan hal yang barusan terjadi, itu benar-benar memalukan baginya.
Beberapa perawat minggir dan berdiri di sisi ranjang, sedangkan si dokter memeriksa denyut jantung Randika dan melakukan beberapa tes sederhana lainnya. Setelah mengetahui bahwa semuanya normal, dia meminta Randika untuk mengangkat bajunya.
Di samping, Viona menatap dengan curiga. Buat apa membuka bajunya? Bukankah yang sakit ada di selangkangan?
Randika membuka bajunya dan si dokter memeriksa luka pisau di daerah sekitar jantungnya, rupanya lukanya itu sudah menutup sempurna. Mungkin 2-3 hari lagi dia bisa sembuh total.
"Aku sudah menjadi dokter berpuluh-puluh tahun, aku tidak pernah menemukan pasien sekuat dan sesehat kamu." Dokter itu memuji. "Jantungmu baru saja tertusuk pisau dan kamu sudah sembuh sekarang. Aku tidak tahu keajaiban apa ini, ini benar-benar melampaui dunia medis."
Dokter itu terlihat kagum dengan Randika, dia mulai menceritakan apa yang boleh dan tidak boleh Randika lakukan beberapa hari ke depan. Ketika mendengar hal ini, Viona makin bingung.
Tunggu, tunggu, jantung? Bukankah yang terluka itu selangkangannya?
Viona benar-benar bingung.
"Bagaimana rasanya tubuhmu? Apakah jantungmu mendadak suka berdebar-debar?" Tanya si dokter.
"Tidak ada kendala sama sekali. Aku merasa sehat!" Jawab Randika.
Perawat di samping langsung mencatat perkataan mereka. Setelah beberapa pertanyaan, si dokter mengatakan. "Dua hari lagi, aku akan memeriksa kembali luka operasimu itu. Jika tidak ada masalah, kamu bisa pulang."
"Terima kasih." Kata Randika sambil tersenyum.
Di samping, Viona akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. "Dokter, apakah lukanya baik-baik saja?"
"Tentu saja, bahkan jantungnya itu jauh lebih kuat daripada orang normal!" Jawab si dokter dengan bersemangat.
"Jadi Randika ini terluka di jantungnya?" Ketika menanyakan hal ini, mata Viona tertuju pada apa yang ada di balik selimut. Sepertinya dia sudah memahami apa yang sebenarnya telah terjadi. Sedangkan Randika, dia hanya tersenyum ke arahnya.
"Benar, tetapi jantungnya ini sudah tidak apa-apa, dia sudah sehat seperti semula." Si dokter menjawab dengan sabar pertanyaan Viona. Setelah tidak ada pertanyaan lagi, si dokter kembali berkeliling lagi bersama para perawatnya.
Sekarang, suasana keduanya ini menjadi canggung. Randika duduk di kasurnya sedangkan Viona masih berdiri dalam keadaan diam.
Dalam beberapa saat, keduanya hanya terdiam.
"Ran" Akhirnya Viona lah yang berbicara duluan.
Dengan cepat, Randika menyelanya. "Vi, barusan bagian bawahku itu benar-benar sakit!"
"Ran" Tatapan Viona makin tajam.
"Vi, aku tidak bohong! Kamu harus percaya aku!"
"Ran" Tatapan Viona setajam silet.
"Vi, ini cuma salah paham."
"Ran! Kamu bohong lagi sama aku!" Teriak Viona.
"Mananya yang bohong? Bagian bawahku ini benar-benar lemas, aku butuh bantuanmu agar bisa menyembuhkannya!"
"Ran!" Viona tersipu malu, dia lalu berjalan menuju pintu keluar dengan wajah acuh tak acuh.
"Viona!" Randika yang tak berdaya ini hanya bisa melihat punggung Viona menghilang.
....
Setelah Viona pergi, Randika masih berhati gembira. Meskipun dia baru saja bertengkar dengan Viona, ini merupakan pengalaman baru.
Tetapi tidak lama setelah itu, pintu ruangannya kembali terbuka. Kali ini, perempuan berbaju serba hitam yang muncul. Penampilannya acuh tak acuh dan membawa sensasi dingin.
"Aku tidak menyangka kamu selemah itu."
Elva duduk di sampingnya. Dia menatap Randika yang memakai baju pasien rumah sakit ini dan memperlihatkan tatapan yang penuh ironi. "Aku tidak menyangka pisau kecil itu bisa menyakitimu."
Mata Randika terbelalak. Perempuan ini cari gara-gara atau ingin berkunjung?
"Meskipun aku terluka seperti ini, aku tidak keberatan kamu bermain dengan adikku yang sehat ini."
Bermain dengan adik?
Elva terlihat bingung beberapa saat, tetapi akhirnya dia menyadari kata-kata Randika barusan. Dia terlihat marah dan menatap tajam Randika.
Tetapi Randika adalah orang yang berkulit tebal, dia tidak peduli dengan tatapannya itu.
"Aku datang ke sini karena disuruh oleh Safira untuk melihat kabarmu. Karena kamu masih bernapas, sepertinya kamu baik-baik saja." Kata Elva dengan dingin. Dia lalu melihat pisang yang ada di samping kasur Randika, dia mengambilnya dan mulai memakannya.
Randika cukup terkejut, kata-kata Elva ini terdengar sama sekali tidak peduli dengannya.
"Bukankah kata-katamu itu terlalu berlebihan? Aku cuma tertusuk pisau sedikit, ini bukan hal yang parah." Kata Randika dengan wajah muram.
"Pisau tertancap di dada, 2 cm dari jantung. Pembuluh darah tidak karuan, otot dan saraf rusak parah. Tulang dan seluruh tubuhnya menunjukan tanda-tanda lumpuh." Kata Elva dengan wajah dingin. "Aku masih heran kenapa kamu tidak mati saja."
Lukanya ini benar-benar serius?