Chapter 43: Alamat Misterius
Chapter 43: Alamat Misterius
"Hahaha." Ketiganya tertawa, dengan macam tawa yang hanya bisa bersumber dari orang yang sudah mengetahui bahwa ajal mereka sudah dekat. "Kami juga ingin merasakan bagaimana kekuatan sebenarnya dari salah satu dewa dari 12 Dewa Olimpus."
"Apakah kalian dari Jeratan Neraka?" Randika masih ingin mengorek informasi sebelum membunuh mereka. "Tidak usah repot-repot berbohong, karena kalian tahu identitasku berarti kalian mengerti kemampuanku."
"Ngimpi kalau kau berharap mendapatkan sesuatu dari kita!" Salah satu dari mereka tertawa keras. "Bahkan jika kau adalah penguasa dunia bawah tanah, kau tidak akan mendapatkan apa-apa dari kami!"
"Bahkan jika nyawa kalian taruhannya?" Randika mengerutkan dahinya. Ketika dia tidak mendapatkan jawaban, dia lanjut berkata, "Mengapa kalian begitu setia kepada mereka? Dan jangan kira obat di dalam gigi kalian itu berguna, aku bisa menghancurkannya dalam 1 detik."
Ketika mendengarnya, mereka bertiga merinding dan tidak bisa tertawa lagi. Walau mereka berusaha untuk tidak menunjukkan keraguan, sesungguhnya mereka tahu bahwa kata-kata Randika itu benar.
"Aku tahu bahwa kau itu sangat kuat." Salah satu menatapnya dengan tajam. "Tapi jangan harap kami akan takut padamu dan menjual organisasi kami!"
"Oh? Apakah itu akan berlaku setelah aku menyiksamu?" Randika tersenyum.
"Jangan harap kau bisa menyiksa kami, kematian adalah kehormatan bagi kami. Kekuatan organisasi kami melebihi apa yang kau bayangkan. Bahkan jika kau adalah Ares, bahkan kau pada akhirnya akan berlutut di hadapan kami!"
"Sebuah kehormatan bisa mati demi organisasi." Salah satu mereka tertawa keras. "Tunggu dan lihatlah pembalasan dari Jeratan Neraka!"
Seketika itu juga, mereka bertiga menggigit obat di dalam gigi mereka.
Randika tidak berusaha mencegah mereka. Mereka adalah orang-orang terlatih dan setia pada organisasi mereka, jadi mengorek informasi dari mereka merupakan hal mustahil.
Mereka semua mati sambil tertawa sebelum akhirnya meleleh dan meninggalkan genangan darah di jalan.
Pada saat mereka meleleh, Randika bergegas menuju Viona agar tidak melihat proses kematian yang mengenaskan ini.
Viona yang melihat Randika itu tiba-tiba menangis. Dirinya bersyukur sekali bisa selamat dari kejadian ini. Randika pun memeluknya dan berusaha menenangkannya. "Tenanglah, aku sudah ada di sini."
Setelah beberapa saat, Randika berkata dengan nada serius. "Aku akan memeriksa mobil mereka sebentar untuk mencari petunjuk."
Viona mengangguk sambil masih sedikit menangis. Meskipun dia tidak paham sama sekali dengan percakapan para penculiknya dan Randika, dia paham bahwa Randika bukanlah orang biasa.
Randika lalu memeriksa kedua mobil tersebut.
Dia berharap bisa mendapatkan petunjuk mengenai Jeratan Neraka.
Meskipun peluangnya kecil, dia harus tetap mencoba. Kemunculan mendadak para anggota Jeratan Neraka ini membuatnya was-was. Selama dia menemukan tempat persembunyian mereka, mereka akan berharap ibu mereka tidak pernah melahirkan mereka.
Seluruh mobil dipenuhi oleh senjata terlebih mobil pertama yang penuh lubang peluru.
Randika mencari-cari mulai dari kursi pengemudi hingga ke bagasi. Dia tidak bisa melewatkan satu jengkal pun yang terlewatkan.
Setelah mencari-cari beberapa menit, dia menemukan sebuah kertas kecil.
Di kertas tersebut hanya ada satu alamat.
"Villa Gunung Perak nomor 87?" Melihat hal ini mata Randika langsung bersinar terang.
Setelah melaporkan dan menunggu kedatangan polisi, Randika memanggil taksi dan mengantar Viona kembali ke perusahaan.
Dia harus memastikan keselamatan Viona benar-benar aman terlebih dahulu. Di dalam taksi, Viona selalu bersandar di bahu Randika sambil terus memeluknya. Matanya tertutup sambil sesekali dia akan bergetar tanpa henti. Sepertinya kejadian sebelumnya telah mengguncang dirinya.
Hati Randika merasa sakit ketika melihatnya. Hal tragis semacam ini pasti sangat berat bagi gadis biasa seperti Viona.
Namun dalam pikirannya masih dipenuhi oleh Jeratan Neraka. Karena dia tidak memiliki sumber daya untuk menyelidikinya, organisasi tersebut benar-benar misterius baginya. Dia merasa bahwa organisasi kejahatan ini muncul bersamaan dirinya, seakan-akan tujuan mereka hanyalah dirinya.
Kemungkinan ini paling masuk akal baginya. Dengan dirinya datang ke alamat itu, dia akan tahu siapa dalang di baliknya dan barulah setelah itu dia bernapas dengan leluasa lagi.
Randika mengerutkan dahinya, kejadian sebelumnya telah berulang. Kejadian di mana teman-temannya yang menjadi target, karena hal itulah Randika bersembunyi di Indonesia. Dia ingin menaklukkan kekuatan misteriusnya dan bisa menjaga semua orang yang dia sayangi!
Seharusnya Shadow sebentar lagi datang ke kotanya, waktunya untuk dirinya menyerang!
Randika lalu menutup matanya sejenak dan ingin melupakan masalah ini sejenak.
Tidak lama kemudian, taksi sudah sampai di gedung perusahaan Cendrawasih. Randika lalu membawa Viona ke ruangan barunya di lantai 5.
"Viona kau baik-baik saja?" Saat berada di lift, Randika menyadari bahwa Viona berwajah pucat.
"Apakah kau ingin pulang saja?" Tanya Randika dengan nada khawatir.
"Tidak apa-apa, aku tidak apa-apa." Viona memaksakan dirinya untuk tersenyum. Dia juga tidak ingin membahas apa yang telah terjadi dengannya.
"Aku rasa kau masih trauma dengan kejadian barusan." Randika menggelengkan kepalanya lalu memeluk Viona. "Maafkan aku Vi Aku tidak mampu untuk melindungimu."
Ketika dipeluk, Viona sedikit merinding.
"Jangan berkata seperti itu, jika bukan karenamu aku tidak tahu nasibku bagaimana." Kata Viona dengan suara pelan.
Salah satu alasan dirinya masih ketakutan adalah identitas asli Randika. Memang kejadian hari ini sungguh menakutkan baginya tetapi hal itu membuatnya melihat jati diri Randika. Keahlian bela diri Randika benar-benar melekat di benaknya. Apalagi setelah membunuh para penculiknya dengan mudah, hal ini membuat dirinya meragukan identitas Randika. Seakan-akan Randika yang di hadapannya ini hanyalah sebuah kamuflase dari suatu sosok yang mengerikan.
Orang macam apa itu Randika?
Viona penasaran.
"Aku tidak pantas mendapatkan penghiburanmu itu." Randika berkata dengan sedih. "Lebih kau istirahat saja di laboratorium nanti. Lagipula tidak ada pekerjaan mendesak juga."
Viona mengangguk.
Melihat Viona yang masih terguncang itu membuat hati Randika kembali sakit.
"Vi, cobalah lihat ke atas."
Setelah mengangkat kepalanya, Randika menciumnya sambil terdiam.
"Ah!" Mata Viona terbuka lebar ketika dicium paksa oleh Randika. Ini sudah keempat kalinya!
Entah kenapa Viona tidak membencinya kali ini dan menikmati momen ini. Setetes air mata keluar dari matanya.
Namun suara nyaring decitan lift yang berhenti terdengar, dia tiba-tiba sadar bahwa pintu akan segera terbuka!
Viona langsung mendorong Randika dan pintu lift pun terbuka.
Ketika mereka berjalan keluar, Randika tiba-tiba berhenti berjalan karena mengingat sesuatu dan bertanya sambil tersenyum. "Sudah baikan?"
Viona tersipu malu ketika mendengarnya. Dia mengangguk dan berlari menuju ruangan Randika.
Randika tersenyum ketika melihat kelakuan Viona yang seperti anak kecil itu. Dia tidak kembali ke ruangannya dan kembali menaiki lift. Dia lalu mengeluarkan kertas yang ditemukannya di mobil.
"Tunggulah kedatanganku!" Gumam Randika.