Chapter 61: Serangan Mendadak
Chapter 61: Serangan Mendadak
"Hannah, lain kali jangan usil lagi ya." Kata Randika dengan suara pelan. Meskipun wajahnya masih pucat, kondisinya lebih baik dari tadi malam.
"Aku kan sudah minta maaf." Hannah masih merasa bersalah. Dia tidak menyangka hanya dengan menggoyangkan bahu kakak iparnya itu, dia akan menginap di rumah sakit.
Randika lalu membalas sambil tersenyum pahit. "Kemarin aku benar-benar rapuh."
"Memangnya kemarin kau sedang ngapain?" Hannah mulai penasaran kembali. "Aku melihat kalau kamu mengeluarkan asap putih dari punggungmu. Kau memiliki kelainan atau sedang melatih sulap?"
"Mungkin itu terlalu rumit untuk menjelaskannya padamu." Randika tidak habis pikir, setelah kejadian semalam adiknya masih penasaran? "Nanti kalau kau sudah besar akan kujelaskan lebih lanjut."
"Ah curang! Aku mengerti kok kalau kau jelaskan." Hannah tidak akan pernah menyerah.
Randika menatapnya, "Kau benar-benar ingin tahu?"
"Tentu saja!" Hannah mengangguk cepat seperti ayam mencari makanan.
"Kalau gitu pijat dulu punggungku." Kata Randika dengan santai. "Aku hampir saja mati karenamu."
Hannah sama sekali tidak menolak setelah 'diingatkan kembali' oleh Randika. Dia duduk dan mulai memijat Randika walau ogah-ogahan.
"Hei yang kuat dong! Ya bagian itu enak sekali! Turun sedikit, yak di situ!" Randika benar-benar menikmatinya.
Melihat kakak iparnya yang terlihat puas itu, Hannah menagih janjinya. "Hei katanya kau mau beritahu aku."
"Ha? Beritahu apa?" Randika pura-pura bodoh.
"Asap yang keluar dari punggungmu itu."
"Aku cuma sedang berlatih." Balas Randika dengan santai. "Ayo tanganmu jangan berhenti, pijatanmu sangat enak lho."
"Latihan? Latihan apa memangnya?" Hannah malah semakin penasaran. "Apa hubungannya dengan asap yang keluar dari punggung itu?"
"Kau tidak perlu tahu itu." Randika memberi batasan jelas pada rasa penasaran Hannah. "Omong-omong, bukankah kemarin kau mengatakan aku boleh merabamu sebagai ganti kejadian kemarin?"
Hannah tersipu malu dan menyangkalnya secepat mungkin, "Ha? Mana mungkin aku berkata begitu! Mungkin kakak kebanyakan dikasih obat sampai berhalusinasi seperti itu."
Randika tidak bisa berkata apa-apa. Adik iparnya ini sama liciknya dengan Deviana.
"Sampai kapan aku perlu memijatmu? Tanganku sudah pegal." Kata Hannah.
"Aduh, kakakmu ini sedang sakit kok kamu manja begini? 5 menit lagi deh."
"Kak, tanganku benar-benar capek!" Hannah mulai malas meladeni Randika.
"Hannah, jangan lupa kalau kau yang membuatku berada di sini, aku Cuma memintamu memijatku sebagai gantinya. Apakah kau ingin aku merabamu saja?"
"Tapi.. tanganku sudah capek kak." Kata Hannah sambil tersenyum pahit.
...........
Ketika mereka masih berdebat, Randika sudah tidak tega melihat adik iparnya itu dan menyuruhnya berhenti.
Kali ini Hannah telah melakukan yang terbaik, walau mulutnya tidak bisa berhenti bicara, jadi dia cukup puas dengannya. Yah masalah kemarin sebagian juga salahku tidak mengunci pintu jadi aku tidak akan mengungkit-ungkitnya lagi, pikir Randika.
Tapi mumpung rasa bersalah masih menguasai Hannah, Randika memikirkan bagaimana cara untuk mengeksploitasi adik iparnya itu. Di tengah keheningan itu, terdengar suara dari arah pintu. "Aku tidak menyangka Dewa Perang dunia bawah tanah ternyata lemah begini."
Randika langsung memasang muka serius, siapa yang baru datang itu?
Hannah juga menoleh ke arah pintu dan menemukan ada sosok pria tidak dikenal.
"Kak, orang itu menakutkan." Hannah segera memeluk tangan Randika.
Kalau pembunuh yang mengetuk pintumu sudah jelas itu menakutkan!
Randika tidak bisa berkata apa-apa, wajahnya masih tanpa ekspresi. "Jadi Bulan Kegelapan mengirimmu ke sini? Aku tidak menyangka kabar tentang diriku yang sakit ini tersebar begitu cepat."
"Hahaha tidak peduli siapa yang mengirimku, yang penting Ares sang Dewa Perang akan mati di tanganku!" Pembunuh ini berbicara dengan nada dingin. Di saat yang sama, dia mengeluarkan sebuah pisau dari balik bajunya. Seketika itu juga Hannah berteriak ketakutan, orang ini pembunuh?
Randika masih tidak bergerak, tetapi tenaga dalamnya yang masih tersisa sudah bersirkulasi. Selama pembunuh ini mendekat, dia bisa mengalahkannya meskipun dalam kondisinya yang sekarang.
"Sepertinya reputasiku sudah menyebar luas di dunia para pembunuh." Randika mendengus dingin.
"Tentu saja." Dengan membunuh Randika, reputasi pembunuh ini pasti melesat jauh. Dia langsung menerjang Randika.
"Kak awas!"
Hannah hanya bisa menutup matanya, sedangkan Randika dia sudah siap melancarkan serangan balik. Di saat pisau itu hampir mengenai dirinya, dia sudah melayangkan pukulan tepat ke arah wajah pembunuh itu.
Seluruh badannya terpental dan pisaunya ikut terjatuh.
Seketika itu juga, tenaga dalam Randika habis tak tersisa.
Sial aku masih butuh waktu untuk pulih, pikir Randika.
Randika masih dalam proses mengumpulkan tenaga dalamnya kembali yang sebelumnya telah tercampur di kekuatan misteriusnya itu. Sekarang dengan kedatangan pembunuh ini, tenaga dalamnya yang awalnya sudah sedikit itu sudah benar-benar habis.
"Memang kau tidak boleh diremehkan meskipun kondisimu seperti ini." Pembunuh itu meludahkan darah yang ada di mulutnya dan berdiri kembali. "Tetapi hari ini kau akan mati!"
Pembunuh itu melesat kembali sambil mengeluarkan pisau keduanya yang mengarah ke tenggorokan Randika.
Situasi dirinya benar-benar gawat.
Randika sudah tidak memiliki cara lain untuk mengatasi serangan kedua ini.
Tetapi, sebuah pukulan datang dari samping dan mementalkan pembunuh itu. Pembunuh itu tidak bisa menghindar dan hanya bisa tersungkur kesakitan.
Randika terkejut dan Hannah menangis bahagia, Ibu Ipah sudah datang!
"Aku harap kau bisa mengimbangiku!" Ibu Ipah terlihat sangat bersemangat.
Melihat kehadiran Ibu Ipah membuat Randika bernapas lega, dia langsung memfokuskan dirinya mengumpulkan kembali tenaga dalamnya. Dia harus berjaga-jaga karena dia tidak tahu berapa pembunuh yang dikirim untuk membunuhnya.
"Ibu Ipah!" Meskipun terkejut, Hannah lega karena pembantunya berhasil mengatasi keadaan.
"Jangan khawatir, tidak akan ada yang bisa melukai kalian."
Pembunuh itu lalu berdiri dan menyadari yang memukulnya barusan adalah seorang nenek-nenek. Dia sedikit malu karenanya. Seorang tua bangka sepertinya bisa memukulku? Kubunuh kau!
"Sudah tua tapi masih berlagak muda, jangan salahkan aku kalau tulang rapuhmu itu patah." Pembunuh itu tidak peduli siapa lawannya itu, jika dia menghalanginya maka orang itu akan mati.
"Rapuh?" Ibu Ipah menggelengkan kepalanya. "Kita lihat siapa yang akan tertawa pada akhirnya."
"Kalau begitu matilah!" Pembunuh itu mengganti target dan menerjang Ibu Ipah.
Namun, ketika pembunuh itu menerjang maju, Ibu Ipah mencengkram pergelangan tangannya dan membanting pembunuh itu. Di saat tubuhnya di tengah udara, Ibu Ipah tidak lupa melayangkan pukulan ke arah dadanya. Dalam sekejap pembunuh itu meringkuk kesakitan.
"Ibu Ipah luar biasa!" Hannah menjadi bersemangat. "Hajar dia!"
Hati si pembunuh mengepal, bagaimana bisa nenek-nenek mengalahkannya?
Tanpa disadarinya, Ibu Ipah sudah menghentakan kakinya hendak menginjaknya hingga mati. Pembunuh itu nyaris tidak berhasil menghindarinya.
Ketika dirinya berdiri susah payah sambil memegangi dadanya yang sakit, pembunuh itu menatap tajam ke arah Ibu Ipah. Kekuatan orang tua itu benar-benar di luar dugaan.
Serangan pertamanya adalah serangan mendadak jadi wajar saja dia lengah, tetapi di serangannya yang kedua dia sama sekali tidak berkutik. Bagaimana bisa itu terjadi?
Ibu ini meskipun terlihat tua tetapi aura membunuhnya begitu pekat, apakah dia sedang memakai penyamaran?
"Seperti kata pepatah, Air beriak tanda tak dalam. [1]" Ejek Ibu Ipah.
Ketika dirinya dihina, pembunuh itu menerjang kembali. Dia terlihat menerjang dengan kecepatan tinggi tetapi di detik terakhir dia mengambil langkah samping. Dia langsung melemparkan beberapa pisau.
Ketika Ibu Ipah menghindari serangan pisau itu, pembunuh itu melancarkan serangan aslinya yaitu tendangan yang mengarah ke wajah Ibu Ipah.
Tetapi Ibu Ipah dengan sigap menangkap kakinya itu dan membanting dirinya lagi. Dia terpental ke arah pintu.
"Ibu Ipah benar-benar kuat!" Hannah ingin melompat kegirangan sedangkan Randika hanya tersenyum lega, untung dirinya tidak macam-macam dengan Ibu Ipah!
Ketika pembunuh itu berusaha berdiri lagi, dia diinjak oleh Ibu Ipah. Dia serasa ditindih oleh mobil. Meskipun dia berusaha melepaskan diri, dia tidak bisa lepas.
"Percuma memberontak, kau sudah tamat." Ibu Ipah benar-benar tidak memberi ampun. Dia lalu berlutut di dada pembunuh itu dan menghajarnya berkali-kali tepat di wajahnya. Yang terdengar hanyalah suara kesakitan dan gigi jatuh. Nenek tua ini ternyata kejam!
Pukulan terakhir Ibu Ipah sukses membuat pembunuh ini pingsan sambil meneteskan air mata. Pipinya begitu bengkak dan bibirnya mengucurkan darah.
"Ibu Ipah kau luar biasa! Aku tidak menyangka kau begitu hebat." Hannah segera memeluk Ibu Ipah. Pembunuh itu tidak berdaya di hadapan pembantunya yang perkasa ini.
Namun, Randika mengerutkan dahinya dan ekspresi Ibu Ipah juga ikut berubah.
Hannah yang menyadari situasi canggung itu bertanya, "Ada apa?"
Seketika itu juga, pintu ruangannya terbuka dan dua pria masuk.
Mereka langsung mengeluarkan pisau mereka dan memancarkan aura membunuh yang pekat ke arah Randika.
Kloning Bulan Kegelapan!
Musuhnya kali ini ingin memanfaatkan kondisinya yang tidak sehat ini untuk membunuhnya. Benar-benar ciri khas seorang Bulan Kegelapan.
"Mereka berdua. Kuat!" Ibu Ipah menelan air liurnya. Jika satu lawan satu mungkin dia memiliki kesempatan tetapi di hadapan serangan gabungan, dia akan kewalahan.
"Mati kau Ares!" Kedua kloning Bulan Kegelapan ini segera menerjang Randika!
Tidak peduli kau sehat ataupun sakit, kau akan mati di tanganku!
Randika mengerutkan dahinya. Tenaga dalamnya masih belum pulih sama sekali, pemilihan waktu Bulan Kegelapan sangat tepat.
Di saat yang sama, Ibu Ipah juga menerjang maju. Di udara sekarang ada 3 orang sedang beradu tinju. Ibu Ipah tidak repot-repot bertahan dan melancarkan pukulan serta tendangannya tanpa mempedulikan dirinya.
Ketiganya jatuh ke lantai dan langsung berdiri kembali.
"Tidak akan ada yang mati di bawah pengawasanku." Kata Ibu Ipah sambil mengambil ancang-ancang menyerang.
"Kami hanya ingin membunuh pria itu. Kalau kau halangi kami sekali lagi, kau akan ikut mati bersamanya!" Bulan Kegelapan tidak bercanda.
"Oh? Kalau begitu mari kita berdansa!"
"Mati!"
Bulan Kegelapan segera menerjang ke arah Ibu Ipah, mereka melancarkan serangan gabungan untuk segera membunuh nenek peyot itu.
Satu melompat di udara, satu bertarung dengan Ibu Ipah. Setelah dia mendarat, dia segera menendang punggung Ibu Ipah.
Ibu Ipah terpental ke depan, di mana pukulan Bulan Kegelapan sudah menantinya. Dia menangkap tinju itu tapi dari belakangnya sudah ada serangan siku menantinya. Dia segera melepaskan tangannya dan melompat ke udara.
Dia mendarat di meja dan menggunakannya sebagai pijakan untuk melesat maju. Dengan kecepatan tingginya itu, dia berhasil melayangkan tendangan di wajah Bulan Kegelapan dan memakainya sebagai pijakan untuk melesat ke Bulan Kegelapan yang satunya.
Bulan Kegelapan itu segera mengambil langkah mundur sambil melihat kondisi temannya. Mereka berdua lalu menatap tajam ke Ibu Ipah. "Boleh juga kau nenek peyot, tapi hari ini kau akan bergabung dengannya di neraka."
Kedua Bulan Kegelapan ini menerjang kembali. Ibu Ipah mau tidak mau menjadi defensif karena serangan gabungan kedua orang itu sangat bagus. Jika tadi dia lengah sedikit saja, mungkin dialah yang terkapar.
Hannah hanya bisa menonton ini dari samping. Dia berdoa sepenuh hati bahwa Ibu Ipah berhasil mengalahkan kedua orang itu.
Randika mulai cemas dalam hatinya. Sialan, berani-beraninya kalian bermain licik seperti ini?
Selama beberapa waktu, ketiga orang ini bertukar pukulan. Pada awalnya, pertarungan ini seimbang tetapi lambat laun perbedaan stamina mulai terlihat. Ibu Ipah harus bertahan dari dua serangan kombinasi sambil mencari celah untuk menyerang balik.
Pada saat ini, salah satu Bulan Kegelapan berhasil mengunci kedua tangan Ibu Ipah. Bulan Kegelapan dengan cepat melayangkan tendangan ke dada Ibu Ipah, yang membuat Ibu Ipah melayang dan membentur tembok.
Duak!
Ibu Ipah yang tangannya terkunci itu tidak bisa menghindar sama sekali.
Namun, dalam sekejap dia berdiri kembali dan memasang kuda-kuda menyerang. Mulutnya mulai mengucurkan darah.
"Cepatlah mati nenek peyot." Kata Bulan Kegelapan. "Masih ada Ares yang menunggu kami!"
Kedua kloning itu segera menerjang kembali dan kali ini aura membunuhnya memancar kuat. Ini serangan pamungkas mereka!
Ibu Ipah mengerti bahwa ini momen krusial dari pertarungannya. Tetapi, dia tidak bisa menghindar karena Hannah dan Randika berada tepat di belakangnya!
Randika saat ini merupakan suami dari nona mudanya, jadi dia adalah salah satu keluarganya. Meskipun pria itu sering membuat marah majikannya, dia tahu bahwa nonanya benar-benar peduli dengannya.
Lagipula, dia merasa bahwa Randika adalah pasangan yang cocok untuk nona mudanya itu. Demi masa depan nona mudanya itu, dia tidak akan menyerah dan rela memberikan nyawanya.
Ibu Ipah tidak tinggal diam dan menerjang ke arah Bulan Kegelapan!
Inilah momen penentuan!
Randika menghela napas dalam-dalam. Sepertinya tenaga dalamnya bereaksi terhadap dirinya dan mulai mengalir deras kembali ke dirinya!
Cepatlah!
Randika butuh waktu sekitar 1 menit lagi untuk mengembalikan tenaga dalamnya, sekarang dia hanya bisa menonton Ibu Ipah dari samping dan berharap yang terbaik.
Di tengah udara, Ibu Ipah terlihat sedikit kehilangan keseimbangan ketika dadanya berdenyut kesakitan. Bulan Kegelapan melihat hal ini dan memanfaatkannya. Kedua pukulan itu berhasil ditangkis oleh Ibu Ipah namun dia masih terpental oleh kekuatannya.
"Cih, ternyata aku sudah tua." Ibu Ipah menghembuskan napas dingin, musuhnya mengerti bahwa dirinya sudah di ambang batas. Mereka benar-benar tidak memberi ampun pada dirinya, karena kedua orang itu sudah menerjang kembali!
"Awas!" Teriak Hannah.
Ibu Ipah dengan cepat berdiri tetapi dia segera diapit oleh Bulan Kegelapan. Kedua kloning ini memanfaatkan sudut mati ini untuk memberikan Ibu Ipah dua pilihan. Melompat dan mati di tengah udara atau menangkis satu serangannya dan mati oleh serangan satunya.
Yang ada hanyalah kematian!
Bisa dikatakan bahwa Ibu Ipah sudah tamat riwayatnya. Sebelum melancarkan serangannya, Bulan Kegelapan masih sempat menoleh ke arah Randika dan menatapnya dengan tatapan mengejek.
Apanya yang Dewa Perang? Kau membiarkan orang lain mati hanya karena kau tidak rela dirimu mati, sekarang saksikan temanmu ini mati!
Setelah nenek tua ini mati, giliran perempuan di sampingmu itu yang akan mati! Aku akan membunuh semua orang yang kau sayangi!
Bulan Kegelapan benar-benar bahagia. Dia tahu bahwa nenek peyot di depannya ini sudah pasti mati.
Hari ini, legenda Ares akan berakhir!
Melihat tatapan mengejek Bulan Kegelapan membuat Randika meledak. Dia hanya seekor semut, bagaimana bisa dia dengan arogannya mengancam membunuhku?
"Matilah!"
Melihat dua serangan Bulan Kegelapan itu mengarah pada Ibu Ipah, sesosok bayangan segera melesat ke arah mereka bertiga.
Ibu Ipah segera menangkis serangan dari kanannya dan sosok bayangan itu menangkis serangan dari kirinya.
Bulan Kegelapan dengan cepat mengambil langkah mundur. Melihat bahwa Randika berdiri kembali, membuatnya harus menyusun kembali rencananya.
"Hanya seorang Dewa yang bisa menentukan hidup dan mati seseorang, kau hanya seekor semut yang bisanya Cuma diinjak-injak." Tatapan mata Randika dipenuhi api amarah, dia tidak akan memberi ampun pada dua kloning itu. Dia menerjang Bulan Kegelapan dengan aura membunuhnya yang pekat.
Salah satu Bulan Kegelapan dengan cepat melompat dan satunya berusaha menangkis serangannya.
Kedua orang itu sangat kompak, satu bertahan dan satu menyerang dari belakang. Tetapi, di hadapan sang Ares semua itu percuma. Randika dengan cepat melayangkan dua pukulan, satu ke depannya dan satu ke atasnya. Membuat kedua Bulan Kegelapan itu terpental!
Kedua Bulan Kegelapan itu terkejut, kekuatan pukulan Randika benar-benar tidak masuk akal.
Keduanya membentur tembok dan meringkuk kesakitan.
Randika perlahan menghampiri mereka. "Karena kau berani membunuhku, aku tidak akan segan-segan membunuhmu!"
Setelah berkata demikian, dengan satu tangannya Randika mengangkat tempat tidurnya.
Mata Hannah terbuka lebar, kakak iparnya begitu kuat!
Kedua Bulan Kegelapan ini terkejut, bukankah orang ini sedang terluka parah? Keduanya merasa nyawa mereka terancam dan berusaha mencari celah untuk kabur.
"Tidak peduli berapa kloning yang kau buat, aku akan membunuh semuanya!" Tatapan mata Randika menjadi dingin sambil dirinya melempar tempat tidurnya itu. Selagi kedua Bulan Kegelapan itu menahan tempat tidur itu, Randika melayangkan pukulannya ke arah kedua paha Bulan Kegelapan
Krak!
Suara tulang patah terdengar jelas di telinga Hannah dan Ibu Ipah.
"Nak Randika memang kuat." Ibu Ipah bernapas lega melihat pria yang dianggap putranya itu sudah pulih.
Hannah benar-benar terkejut, kakak iparnya ternyata lebih kuat dari Ibu Ipah! Dan entah kenapa dia terlihat gagah dan tampan!
Bulan Kegelapan hampir tidak bisa berdiri dengan dua kaki. Satunya berusaha melayangkan pukulan tetapi tangannya malah tertangkap oleh Randika. Dalam sekejap, bahunya telah lepas dari sendinya.
Kaki Randika dengan keras menendang Bulan Kegelapan yang satunya dan tulang rusuknya segera patah.
Apabila Shadow melihat dirinya ini, dia pasti lebih ngeri lagi melihat Randika yang sekarang. Benar-benar kuat!
"Semut tidak pantas berkoar." Randika melempar Bulan Kegelapan yang bahunya lepas itu.
Randika lalu menghampiri Bulan Kegelapan yang tulang rusuknya patah itu. Kedua Bulan Kegelapan ini ingin melawan tetapi mereka sudah tidak bertenaga lagi.
"Matilah!" Randika kembali menginjak dadanya dan tulangnya yang patah itu telah membunuhnya.
Randika dengan cepat menghampiri Bulan Kegelapan yang bahunya lepas itu dan mematahkan lehernya.
Karena tenaga dalamnya itu mengalir dengan deras, dia jadi terlalu sedikit bersemangat.
Akhirnya kedua Bulan Kegelapan telah mati di tempat dan pembunuh yang masih pingsan itu dia ikat di kursi.
Setelah semuanya selesai, Hannah menghampiri Randika dan memeluknya. "Kakak begitu kuat!"
Ibu Ipah yang duduk di lantai sambil memegangi lukanya hanya bisa berkata pada dirinya sendiri bahwa dia sudah tua.
[1] Sindiran terhadap orang yang banyak bicara tapi sedikit ilmunya.