Chapter 102: Kau Pikir Kau Lebih Cepat Daripada Peluru?
Chapter 102: Kau Pikir Kau Lebih Cepat Daripada Peluru?
DUAR!
Tiba-tiba pintu kamar Randika dan Inggrid itu meledak dan hancur menjadi serpihan. Lalu dari arah pintu sana muncul bom asap yang dengan cepat memenuhi isi ruangan.
Satuan khusus?
Randika mulai cemas terhadap keselamatan Inggrid. Dia dengan cepat membawa Inggrid berlindung di bawah kasur dan mengatakan. "Apa pun yang terjadi, jangan berisik dan jangan keluar dari sini."
Inggrid yang ketakutan hanya menganggukan kepalanya.
Randika dengan cepat bergerak dan menendang bom asap itu ke arah pintu.
Pada saat ini, seorang polisi dengan perlengkapan lengkap menerjang masuk dengan senapan serbu di tangannya. Begitu dia melihat Randika, dia segera mengangkat senjatanya.
Namun, Randika jauh lebih cepat darinya. Ketika dia berusaha membidik Randika, Randika sudah menahan senjatanya dan dia tidak bisa bergerak.
Polisi tersebut bereaksi dengan cepat, dia segera melepas senjatanya yang ditahan oleh Randika. Polisi tersebut dengan cepat memberikan serangan siku pada Randika. Namun, Randika menghindarinya dan menendangnya. Polisi tersebut terpental mundur beberapa langkah.
Polisi tersebut meraung kesakitan tetapi Randika sudah berada di depannya!
DUAK!
Polisi tersebut menatap tembok yang ada di luar ruangan.
Satuan khusus yang ada di luar terkejut melihatnya.
Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Teman mereka yang merupakan salah satu yang terhebat di antara mereka hanya bertahan 10 detik di dalam?
Tetapi berkat pelatihan khusus yang mereka terima, mereka sama sekali tidak gentar dan mencengkeram erat senjata mereka. Mereka dengan cepat memantau situasi tetapi tidak ada pergerakan di dalam.
Keheningan ini sangat mencekam.
Dua polisi satuan khusus mulai masuk bersamaan. Mereka berdua berbaris sambil memberi isyarat di punggung ataupun isyarat tangan. Namun, ketika mereka memeriksa kamar mandi, sesosok bayangan meloncat keluar.
DUAK!
Suara orang bertarung tangan kosong terdengar dari dalam. Kali ini, kedua polisi tersebut tidak merespon sama sekali setelah 20 detik masuk ke dalam. Para polisi yang di luar mulai menjadi cemas, lawannya kali ini sangat kuat!
"Kalian sudah terkepung, menyerahlah dan keluar dari ruanganmu!" Seorang polisi berteriak.
"Masuklah dan coba buat aku menyerah kalau bisa!" Suara Randika terdengar penuh dengan percaya diri.
"Aku akan melempar granat jika kalian tidak keluar." Balas polisi tersebut.
Ini hanyalah gertakan, sebuah granat bisa berdampak sangat buruk jika diledakan di hotel ini.
"Baiklah Aku akan keluar, jangan tembak aku." Randika dengan santai keluar dengan tangan di belakang kepalanya. Namun, tatapan matanya sama sekali tidak menunjukan ketakutan sama sekali.
Melihat lebih dari 10 orang satuan khusus ini di koridor, Randika menyadari bahwa Yosua berada di barisan paling belakang. Dengan muka mengejek, Randika mengatakan. "Selamat malam Tuan Yosua."
Pada saat ini, Yosua sudah bagaikan mumi. Seluruh mukanya dibalut oleh perban kecuali daerah mata dan hidung.
Tatapan matanya penuh dengan kebencian dan kemarahan. "Hari ini aku akan mengulitimu hidup-hidup!"
"Jangan suka sesumbar, tidak baik untukmu." Randika menggelengkan kepalanya. Lalu dengan santai dia berkata pada para polisi tersebut. "Jadi cuma segini harga nyawaku? Selusin orang saja? Kenapa tidak menyuruh 50 orang untuk memburuku?"
Orang ini gila!
Semua polisi ini memakai ekspresi dingin dan Yosua sudah tidak sabar untuk menyiksa Randika.
"Kau pikir kau lebih cepat daripada peluru?" Sambil tertawa keras Yosua mengatakan. "Sekarang lebih dari 10 senapan membidikmu, kau masih berharap bisa hidup?"
"Kau pikir senjata itu membuatku takut?" Randika menatap mereka dengan tatapan mengejek, baginya satuan khusus ini hanyalah sebuah debu.
"Takut? Mari kita lihat apakah kau bisa bicara begitu besar ketika tubuhmu penuh dengan lubang."
"Coba saja," Kata Randika sambil tersenyum. "percuma aku menjelaskan, lebih baik kutunjukan."
"Ayo tembak aku!" Randika menghentakan kakinya ke arah para polisi itu.
Para polisi ini bertukar pandang dan mengangguk bersamaan. Dalam sekejap, mereka telah menembakkan seluruh peluru mereka!
Inggrid yang berada di bawah kasur semakin cemas ketika mendengar rentetan tembakan itu.
"Tuhan selamatkan Randika" Inggrid berdoa dalam hatinya.
Tembakan dari selusin polisi ini tidak menyisakan ruang untuk Randika menghindari ke samping. Di barisan paling belakang, Yosua sudah bertepuk tangan dan tersenyum lebar ketika melihat polisi yang dibayarnya itu mulai menembak.
Tetapi, dalam sekejap muka bahagianya itu menjadi suram. Matanya terbelalak melihat adegan tidak masuk akal di depannya.
Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?
Menggosok-gosok matanya, Yosua tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Itu benar-benar tidak masuk akal!
Seperti di film-film aksi dari barat, Randika berlarian di tembok dan menghindari seluruh peluru yang menuju dirinya!
Bahkan gravitasi seakan-akan tidak ada bagi Randika. Ketika senapan itu mengarah ke langit-langit, Randika sudah berada di bagian kanan tembok. Ketika Randika dibidik lagi, sosoknya sudah tidak ada kembali.
Ratusan butir peluru dengan cepat melesat tetapi orang di hadapan mereka masih bisa bergerak bagaikan bayangan. Semua orang terkejut, bagaimana mungkin orang ini bisa disebut manusia?
Di koridor hotel ini sekarang, sosok Randika bahkan terlihat bertambah. Saking cepatnya dia berlari, dia meninggalkan sosok bayangannya. Sesaat dia ada di atas langit-langit, di belakang vas, di samping tembok dan berada di tengah udara.
Orang ini jelas-jelas monster!
Semua polisi ini mulai ragu dan bingung, mereka hanya bisa menembaki di mana sosok Randika berada.
Yosua yang ada di barisan paling belakang mulai berkeringat deras. Sialan, orang itu bukan manusia!
Setelah 20 detik menembak tanpa henti, semua senapan polisi ini telah kehabisan peluru. Randika dengan santai bertanya. "Sudah selesai?"
Dan di bawah tatapan mata orang banyak, Randika berdiri diam di tempat awalnya! Dia bahkan terlihat tidak bergerak sama sekali.
Seberapa cepat memangnya kecepatan orang ini?
Lagipula, senjata mereka sudah menghalangi seluruh jalur lari targetnya.
Setelah menerima seluruh magasin dari selusin polisi, koridor ini sudah tidak berbentuk dan banyak lubang peluru. Semua hiasan dinding maupun vas sudah hancur berantakan. Pemandangan ini benar-benar mirip dengan pemandangan pasca gempa. Sedangkan target mereka, nampak baik-baik saja. Siapa yang akan mempercayainya jika mereka tidak melihat hal ini dengan mata mereka sendiri?
Semua polisi ini tidak tahu harus berbuat apa. Randika lalu berteriak ke arah Yosua. "Sudah mengerti maksudku tadi?"
Punggung Yosua sudah basah oleh keringat, saking takutnya dia tidak bisa mengeluarkan suara sama sekali. Selama dia menjadi gangster, dia belum pernah melihat orang yang berada di peringkat Dewa. Dan sekarang, dia telah menyaksikan salah satu dari 12 Dewa Olimpus!
"Kalau kalian sudah selesai, sekarang giliranku." Randika menatap para polisi itu dengan wajah tersenyum yang mengerikan. "Paling parah mungkin kalian tidak akan bisa berjalan lagi."
Pada saat ini, para polisi itu sudah gemetar ketakutan. Dan benar saja, detik berikutnya mimpi buruk mereka benar-benar terjadi.
"Ah!"
Di barisan paling depan, seseorang telah dipelintir tangannya oleh Randika. Dengan mudah, Randika menendangnya hingga terbenam di lantai.
Detik berikutnya, Randika sudah mencekik salah satu polisi dan menghantamnya ke tembok. Seluruh tubuh polisi itu sampai masuk ke dalam tembok.
Sepuluh polisi sisanya itu langsung mengepung Randika, satu per satu mulai menyerangnya dengan tangan kosong.
Jeritan tragis mereka mulai menggema di telinga Yosua, para polisi ini tidak berdaya di hadapan Randika.
Randika sendiri tidak segan-segan menahan kekuatannya. Karena mereka semua adalah polisi korup sewaan Yosua, Randika harus menegaskan bahwa mereka tidak bisa macam-macam dengan dirinya. Di hadapan kekuatan absolut, mereka harus tunduk atau dipaksa tunduk.
Melihat pembantaian yang dilakukan Randika, Yosua dengan cepat mengambil handphonenya. Namun, handphone tersebut jatuh karena tangannya tidak bisa berhenti gemetar.
Ketika Yosua berusaha mengambilnya dan meminta bantuan, kaki Randika sudah berada di samping handphonenya.
Secepat itu!?
Yosua menelan ludahnya dan mengangkat wajahnya yang sudah pucat pasi itu. Pemandangan di depannya benar-benar mengenaskan. Seluruh polisi terkapar di lantai dan muka senyum Randika sedang menatapnya.
"Hm? Mau nelepon siapa?" Randika mengambil handphone milik Yosua itu dan melihat nama dari nomor yang mau dia panggil.
"Kepala polisi?" Randika terkejut kemudian menghela napas. "Kenalan Tuan Yosua memang benar-benar luar biasa. Apakah dia harus tunduk padamu juga seperti orang lain?"
"Aku cuma salah pencet." Pada saat ini Yosua sudah hampir mati ketakutan.
Randika memberikan handphonenya dan mengatakan. "Tidak apa-apa, telepon saja dia."
"Ah?" Yosua terkejut mendengarnya.
"Aku ingin kau meneleponnya, aku ingin tahu berapa banyak orang yang akan dikirimnya lagi." Randika lalu berkata dengan santai. "Kalau kau tidak mau meneleponnya, kau akan mati sekarang."
Mendengar ancaman Randika, Yosua tidak berani untuk membantah. Orang ini benar-benar dewa kematian, benar-benar menakutkan!
Setelah berhasil menelepon temannya itu, Yosua dengan gemetar mengatakan. "Tolong kirimkan orang lagi."
"Aku sudah mengirimkanmu 15 orang bersenjata lengkap, masa kurang?" Suara di balik telepon itu terdengar tidak puas.
"Semuanya sudah kalah." Yosua sudah ingin menangis ketika mengatakannya. Bahkan temannya ini mengirimkan 100 orang pun rasanya sudah percuma.
"Mustahil!"
"Hei, bawahanmu ini sudah terkapar dan sekarat di hadapanku." Kali ini Randika yang berbicara. "Aku tidak tahu siapa namamu tapi, jika kau tidak segera menyelamatkan mereka aku rasa sudah terlambat untuk membawanya ke rumah sakit."
Lalu Randika dengan cepat menutup teleponnya.
Yosua lalu menangkap handphone miliknya yang dilempar oleh Randika. Dia lalu menelan ludahnya dan dengan suara pelan bertanya. "Bolehkah aku pergi sekarang?"
"Pergi?" Randika lalu tersenyum. "Mau pergi ke mana memangnya kau?"
Randika menatap Yosua yang tersandung itu, dengan tatapan dingin Randika mengatakan. "Aku belum selesai denganmu, ngapain kamu buru-buru ingin pergi seperti ini?"
Yosua menggigil ketakutan dan mengatakan. "Aku sudah menurutimu, sekarang biarkan aku pergi!"
"Eh? Memangnya aku mengatakan kau boleh pergi setelah menelepon?" Randika lalu dengan keras menginjak kaki Yosua.
KRAK!
Suara tulang patah terdengar dengan jelas, dalam sekejap Yosua merasakan rasa sakit yang luar biasa pada kakinya.
Kali ini Randika harus memberi kesan yang mendalam pada Yosua. Kakinya yang patah itu benar-benar dia remukan, sudah sangat susah disembuhkan bahkan dengan bantuan dokter ahli sekalipun.
"Hahaha, kau suka hadiah dariku ini?" Randika menjongkok dan tersenyum.
"Mana mungkin aku menyukainya!" Wajah Yosua sudah penuh dengan keringat.
"Kalau begitu, mungkin kau akan suka dengan hadiahku untuk tangan kananmu?" Randika memegangi tangan kanan Yosua dengan erat.
"Tolong ampuni aku." Mendengar ancaman Randika itu, Yosua benar-benar ketakutan.
"Hahaha baiklah, karena aku orang yang murah hati maka aku tidak akan melakukannya." Kata Randika dengan santai.
"Sekarang, aku ada urusan lain di bawah. Jadi mari kita ke bawah bersama-sama."
Randika lalu menyeret Yosua yang kakinya patah itu ke dalam lift.