Chapter 110: Tak Ada Akar, Rotan Pun Jadi!
Chapter 110: Tak Ada Akar, Rotan Pun Jadi!
Setelah menyelesaikan masalah klub karate, Randika dengan cepat beranjak keluar dari universitas itu dan memutuskan untuk menuju perusahaan Cendrawasih.
Saat dia berada di lobi, dia berkedip pada resepsionis perempuan yang biasanya berjaga disitu. Perempuan itu terlihat malu dan Randika melewatinya sambil bersiul.
Dengan cepat dia tiba di kantor Inggrid.
Randika masuk ke ruangannya dengan pelan dan mendapati biasa Inggrid duduk sambil membaca beberapa dokumen seperti biasanya.
Tidak ingin mengejutkannya, Randika pura-pura mengetuk pintu yang sudah tertutup rapat itu dengan pelan.
Mendengar suara ketukan pintu yang pelan itu, Inggrid menjawab tanpa menoleh. "Masuk."
Randika tersenyum dan berjalan mengendap-endap.
Melihat sosok bayangan yang mendekatinya, Inggrid langsung menoleh dan mendapati Randika sedang tersenyum pada dirinya. Dia tidak bisa tidak menghela napas. Kenapa bajingan ini selalu memainkan dirinya?
"Sedang ngeliatin apa kamu?" Randika berusaha mengintip.
"Peduli apa kau memangnya?" Inggrid memberinya tatapan dingin lalu dia mengatakan. "Bukannya kamu tadi pagi pergi bersama Hannah?"
Randika terkejut, bagaimana mungkin istrinya yang pergi dari pagi itu tahu?
Melihat wajah bingung Randika, Inggrid dengan santai menjawab. "Ibu Ipah yang memberitahuku."
"Oh begitu." Randika lalu menjelaskan. "Aku tadi khawatir terhadap teman-temannya yang masih setengah sadar itu mangkanya aku membantu Hannah memulangkan mereka. Adikmu itu memang benar-benar bertanggung jawab."
Tenang Hannah, kakak iparmu berusaha semampunya demi kamu!
"Apanya yang bertanggung jawab." Inggrid menghela napas dalam-dalam. Adiknya itu memanfaatkan ketidak hadirannya untuk mengadakan pesta diam-diam.
"Sayang, adikmu itu masih muda. Sudah tugas kita untuk menuntunnya." Kata Randika.
Inggrid mengangguk. "Oh ya, bagaimana dengan produk parfum baru yang dikembangkan itu? Aku berniat memberi sampelnya pada perusahaan Yosua dan menyuruh mereka untuk mengetes pasar."
"Kelvin seharusnya sebentar lagi selesai dengan produk itu. Tidak lama lagi harusnya dia membawakannya padamu." Kata Randika.
"Bukannya kamu yang bertanggung jawab sama produk itu? Kenapa kamu terdengar tidak yakin seperti itu?" Inggrid mengerutkan dahinya. "Apa selama ini kamu tidak kerja sama sekali?"
"Mana mungkin aku seperti itu!" Randika dengan cepat membantah. "Aku hanya bertanggung jawab mengajari mereka dan mengetes hasil akhir, merekalah yang tetap harus menyelesaikannya. Memangnya kau pernah melihat pelatih sepakbola bermain bersama timnya?"
"Jangan khawatir." Randika lalu berjalan ke belakang Inggrid dan berbisik di telinganya. "Apa pun yang diinginkan istriku pasti akan aku wujudkan, jika mereka tidak bekerja dengan benar maka aku akan memarahinya."
Memarahinya? Jadi dia memang malas untuk bekerja begitu? Inggrid kehabisan kata-kata ketika mendengar Randika. Dan tentu saja, Randika tidak hanya berbisik di telinganya.
"Hei! Sedang apa kau?" Wajah Inggrid sudah memerah, bajingan ini lagi-lagi aji mumpung.
"Tentu saja memanjakan istriku." Randika memijat pundak Inggrid sambil menggigit telinganya itu. Dalam sekejap sensasi nikmat itu langsung memenuhi benak Inggrid.
Inggrid benar-benar menikmatinya, tetapi tiba-tiba pintunya diketuk.
Randika langsung menjadi cemberut, kenapa momen intim seperti ini selalu dirusak oleh orang?
"Masuklah." Inggrid lalu mendorong Randika, isyarat agar Randika tidak macam-macam.
Ternyata sekretaris Inggrid lah yang mengetuk pintu. Ketika dia masuk, dia melihat wajah bosnya itu merah, dua kancing bajunya yang paling atas terbuka dan napasnya terengah-engah.
Terlebih, dia melihat sosok Randika berdiri di samping Inggrid. Apakah mereka benar-benar telah menikah?
Namun sebagai seorang pegawai dan sekretaris pribadi, dia tidak boleh berpikiran yang aneh-aneh.
Melihat dari tingkah laku sekretarisnya itu, Inggrid bernapas lega. Untung sekali tindakan mereka tadi itu tidak ketahuan, lain kali dia harus berhati-hati dengan Randika.
Randika melihat bahwa yang dibahasnya itu terlihat penting, dia perlahan-lahan keluar dengan sendirinya dan mengunjungi laboratorium milik Kelvin.
Dengan cepat Randika menemukan Kelvin sedang bereksperimen dengan produk terbaru mereka.
"Ah! Pak Randika tumben ada di sini?" Kelvin terkejut.
"Apakah produk parfum baru itu telah selesai?" Tanya Randika.
"Sudah ada beberapa contoh yang telah jadi tetapi aku masih kurang puas dengan hasilnya. Seharusnya semua akan selesai 1 hari lagi." Kelvin lalu mengambil salah satu produk dan membiarkan Randika menciumnya.
Randika menciumnya dan mengatakan. "Hmm Kamu lebih baik mengganti proporsinya."
Setelah memberikan instruksi, Randika menyuruh Kelvin mengulang lagi.
Pada saat ini, Randika menyadari sosok Viona di tengah ruangan. Karena laboratorium miliknya sedang tidak ada kerjaan, sebagian besar orang yang bekerja di bawah Randika dipindah untuk membantu Kelvin.
Dan terlebih, Viona menyukai parfum dan mempunyai kemampuan sehingga dia dengan cepat beradaptasi.
"Vi"
Viona yang masih berkonsentrasi bekerja itu tiba-tiba terkejut karena ada suara yang memanggilnya, hasilnya dia menjatuhkan tabung gelasnya.
Tapi dengan cepat sebuah tangan mencegah tabung itu jatuh ke lantai.
Viona dengan cepat berubah menjadi malu. "Randika"
"Hahaha bekerjalah seperti sebelumnya." Kata Randika sambil tersenyum.
Karena istrinya itu sedang sibuk, tidak ada salahnya dia bermesraan dengan Viona.
"Sebentar, cara kerjamu bisa lebih sempurna lagi. Sini aku ajari." Randika dengan lihai menemukan cara terselubung untuk bermesraan. Dia lalu memegang tangan lembut Viona itu.
"Randika jangan" Viona merasa malu, mereka sedang berada di ruangan penuh orang.
Randika hanya tertawa. "Hahaha aku hanya mengajarimu kok."
Di tengah ajarannya ini tentu saja Randika menyempatkan diri mencuri-curi kesempatan.
Hari berlalu dengan cepat.
Sekarang, jam kerja sudah selesai dan semuanya sudah siap-siap pulang.
Namun, tiba-tiba Randika mendengar Viona berteriak.
Randika dengan cepat menghampiri Viona yang sedang duduk di lantai itu. Wajahnya terlihat kesakitan.
"Kenapa kamu?" Randika bertanya dengan nada cemas.
Melihat high heels Viona yang patah itu, Randika bisa menyimpulkan.
Randika dengan hati-hati melepaskan kedua high heels milik Viona dan mulai memijat kakinya yang kesakitan itu.
"Vi, kenapa kau begitu ceroboh?" Randika menggoda Viona, dia tahu bahwa Viona jarang memakai sepatu seperti itu.
Wajah Viona terlihat memerah. Dengan bantuan pijat Randika itu, kakinya berangsur-angsur membaik.
Setelah beberapa lama, kakinya benar-benar sudah tidak sakit lagi.
"Vi, aku akan menemanimu pulang." Randika membantu Viona untuk berdiri dan menopangnya.
"Ran" Viona ingin memberontak tapi tidak bisa, kakinya masih tidak kuat untuk menopang dirinya sendiri.
"Hei jangan bergerak seperti itu, lama-lama kugendong kamu." Kata Randika sambil tertawa.
Wajah Viona justru makin merah, mereka masih berada di ruangan kerja dan orang-orang melihati mereka.
Menuntun Viona ke mobil taksi, Randika ikut dengannya.
Tangannya yang mengtowel-towel dada Viona itu benar-benar bahagia. Benar-benar hari yang menyenangkan baginya.
Tak lama kemudian mereka telah sampai di depan rumah Viona.
Setelah membayar taksi itu, Randika lalu keluar dan membukakan pintu untuk Viona.
Ketika Viona hendak berjalan, Randika sudah berlutut di hadapannya.
"Ayo cepat, aku akan menggendongmu ke kamarmu."