Chapter 111: Cobaan Ilahi
Chapter 111: Cobaan Ilahi
"Ah?"
Viona yang masih ragu itu tiba-tiba sudah digendong oleh Randika. Dalam sekejap wajahnya menjadi merah. Tetapi, perasaan aman dan nyaman ini benar-benar baru dia rasakan ketika bersama dengan Randika.
Bersandar di dada Randika yang kekar itu, Viona bisa mendengar detak jantung Randika yang berdegup dengan tenang.
Si supir taksi hanya bisa melihati mereka dengan tatapan iri. Sialan anak muda ini, mereka malah bermesraan di depanku!
"Tahan sebentar ya." Randika tersenyum pada Viona.
"Baik." Viona menutup matanya.
Randika menyukai aroma yang memancar dari Viona ini, baginya dia benar-benar harum.
Langkah demi langkah, Randika masuk ke rumah dan mengantarnya ke kamar tidurnya di lantai 2. Viona yang digendong itu merasa waktu seakan berhenti, perasaan nyaman ini benar-benar menenangkan bagi dirinya. Bahkan selama dirinya digendong, wajahnya benar-benar dekat dengan Randika.
"Sudah sampai." Randika tersenyum menatap Viona yang terlihat malu-malu itu.
Ha? Cepat sekali!?
Tatapan mata Viona sedikit mengandung rasa menyesal.
Setelah mendudukan Viona di atas kasurnya, Randika membantu menyimpankan tas yang dibawa Viona ke tempatnya sekaligus membawakan air untuknya.
"Vi, kakimu akan kupijat lagi ya biar enakan." Randika lalu mencopot sepatu Viona dan menyuruhnya untuk menyender di ujung kasur. Dengan pelan, Randika mulai memijat kakinya itu.
Wajah merah Viona itu dia sembunyikan di balik bantal. Meskipun tidak ada orang selain mereka berdua, Viona masih merasa malu ketika berduaan dengan Randika yang dicintainya itu.
"Vi, kakimu ini mulus sekali." Randika memijat bagian tumit Viona dengan pelan dan lembut. Setiap kali dia mengurutnya, tenaga dalamnya akan mengalir ke dalam tumit Viona dan meredakan rasa sakitnya.
Selama dia memijatnya, tatapan matanya tidak bisa lepas dari kaki panjang dan mulus milik Viona. Kakinya itu benar-benar putih seperti kain sutera. Belum lagi pahanya yang menggiurkan itu, dia harus menahan dirinya kuat-kuat agar tidak membenamkan kepalanya di situ.
Di balik bantalnya itu, Viona sudah mendesah erotis berkali-kali. Setiap pijatan Randika itu membuat dirinya tidak bisa menahan dirinya untuk mendesah nikmat.
Setelah beberapa saat, Randika bertanya. "Bagaimana? Apakah sudah membaik?"
Viona lalu meletakan bantalnya dan menggerak-gerakan kakinya beberapa saat. Dia benar-benar terkejut. "Wah sudah tidak sakit!"
"Hahaha tentu saja." Randika tertawa namun masih belum melepaskan kaki Viona dari pelukan tangannya itu.
"Vi Apakah kita sebaiknya melanjutkan apa yang tertunda kapan hari?" Randika mulai menyerang, dia tidak akan melepaskan kesempatan ini.
"Hmm? Yang mana?" Tatapan mata Viona terlihat bingung, jelas dia tidak mengerti apa yang Randika maksud.
"Sini akan kuberitahu." Randika langsung memeluk pinggang Viona dengan tangan kanannya dan menariknya hingga ke pelukannya. Tangan kirinya lalu mengelus rambut Viona.
"Apakah kau masih tidak tahu maksudku?" Randika tersenyum. Sekarang wajah mereka berdua sudah sangat dekat.
Wajah Viona menjadi merah dan sambil menundukan kepalanya sambil mengatakan. "Ran ini masih pagi."
"Memangnya kenapa?" Randika lalu menempelkan dahinya ke dahi Viona. "Di rumah ini hanya ada kita berdua dan kita tidak perlu khawatir akan ada orang yang mengganggu kita."
Jantung Viona sudah berdetak sangat cepat. "Aku masih belum siap."
"Jangan khawatir, serahkan padaku." Randika lalu menyebul telinga Viona. Dalam sekejap yang ada hanyalah suara desahan Viona. Hanya satu tarikan napas, Randika berhasil membuat tubuhnya kehilangan kendali.
Merasakan Viona mulai lemas di pelukannya, Randika tertawa. Sepertinya dia memang ahli membuat perempuan terangsang.
"Tenanglah dan nikmati sensasinya, aku akan melakukannya selembut mungkin." Kata Randika di telinga Viona. Randika lalu menggigit telinga Viona dengan lembut.
Kedua tangan Randika sudah berenang-renang di seluruh tubuh Viona. Dengan rangsangan tangan Randika dan telinganya yang tergigit itu, Viona sudah seakan melayang di awan.
Randika tidak terburu-buru untuk masuk ke babak utama, kali ini tidak akan ada yang bisa mengganggu mereka. Dia sudah diganggu oleh Christina 2x dan tiap momennya hampir mencapai babak utama. Randika sudah lama menantikan momen penyatuan ini. Sebagai dosen, Christina pasti masih ada di tempat kerjanya jadi sekarang adalah momen sempurna.
Tangan kiri Randika menahan kepala Viona, bibirnya sedang sibuk menjelajahi leher Viona yang mulus dan tangan kanannya sedang berusaha melepas baju Viona.
Viona sudah tidak bisa berpikir apa-apa. Dia merasa seluruh tubuhnya menjadi panas. Detak jantungnya sudah berdetak tidak karuan dan tiap helaan napasnya terasa panas.
Namun, perasaan ini sangat nikmat baginya. Setiap tubuhnya yang disentuh oleh Randika akan memberikan sensasi nikmat yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Dia ingin melanjutkannya tetapi masih ada sedikit rasa takut menggenang di hatinya.
"Vi, tenanglah." Melihat Viona yang sedikit bergetar itu, Randika berusaha menenangkannya dan mencium dahinya. "Aku tidak akan pernah menyakitimu."
Sekarang baju Viona sudah berhasil dilepas oleh Randika, sekarang hanya beha berwarna ungu lah yang menutupi kedua gunung milik Viona.
Randika tidak pernah bosan melihat dada Viona yang besar dan sempurna itu, meskipun belum terbuka semuanya, keempukan dan keindahan itu tidak bisa tertutupi oleh apa pun.
Tidak mau buru-buru, Randika lalu memfokuskan diri ke bagian atas Viona dulu. Mulai dari menciumnya hingga hanya berpelukan, Randika berusaha meyakinkan Viona bahwa dia tidak perlu takut. Perasaan tenang ini membuat Viona semakin rileks dan terfokus pada bagian nikmatnya saja.
Sedangkan untuk babak utamanya, Randika memutuskan semuanya bergantung pada Viona.
"Vi, lepaskan celanamu." Ketika mereka berpelukan, Randika berbisik pada telinga Viona.
Viona yang sudah rileks ini menuruti kata-kata Randika. Tidak lama kemudian, Viona dengan sendirinya melepas celananya.
Melihat Viona yang hanya memakai pakaian dalamnya membuat Randika semakin bersemangat. Senyuman wajahnya menunjukan bahwa inilah saatnya mereka berdua bersatu.
Asyik!
Randika benar-benar bersemangat dari lubuk hatinya, masih tidak terdengar suara ketukan pintu ataupun teriakan orang.
Saat tangan Randika sudah hendak mencopot celana dalam itu, tiba-tiba suara bel pintu terdengar.
Ya ampun, lagi!?
Viona yang terkejut itu mengatakan. "Ran, ada orang."
Viona lalu berdiri dan memakai bajunya lalu keluar dari ruangan itu dan bersembunyi. Seluruh proses ini sangatlah cepat tidak sampai 20 detik.
Randika hanya duduk melongo di tempat, sambil meneteskan air mata darah dia bergumam. "Ya Tuhan, kenapa kau memberi cobaan seperti ini? Selalu di detik terakhir aku akan melakukannya selalu saja ada masalahnya."
Muka Randika menjadi serius, bajingan mana yang mengganggunya kali ini.
Ketika Randika turun untuk melihat siapa pengganggunya itu, mukanya tidak terkejut.
Tentu saja tetangga Viona satu itu selalu mengganggunya dan ini sudah ketiga kalinya!
Randika menggertakan giginya kuat-kuat, dosa apa yang diperbuatnya pada perempuan itu sampai-sampai dia selalu diganggu olehnya.