Chapter 36: Menginap Satu Malam
Chapter 36: Menginap Satu Malam
Ketika Randika hendak memasukkan peluru ke-3 itu ke mulut Rohim, tangan kanannya ditarik oleh seseorang.
Ketika dia menoleh, ternyata itu adalah Deviana yang sudah berurai air mata di wajahnya.
"Randika jika kau teruskan lama-lama dia akan mati!" Deviana menangis, karena bagaimanapun juga Rohim adalah atasannya. Meskipun cara yang dipakai Rohim terlihat salah ketika meminta Randika kembali ke kantor bersama mereka, apabila menyangkut keselamatan masyarakat, seluruh penegak hukum tidak akan takut apa pun demi menegakkan hukum dan mencegah hal buruk terjadi.
"Bukankah tadi itu adalah penyalahgunaan kekuasaan?" Kata Randika sambil menyeringai. "Sekarang karena sudah tidak berdaya, dia merengek minta ampun? Kalau aku tidak mengeluarkan peluru itu sebelumnya, maka peluru itu sudah bersarang di tubuhku!"
"Aku tahu itu dan kami minta maaf." Deviana terus menangis sambil menggigit bibirnya.
Randika memperhatikan wajah cantik Deviana yang bergelimang air mata itu. Dia merasa hatinya melunak ketika melihatnya. Dia lalu memperhatikan muka pucat Rohim dan melemparkannya kepada kedua polisi lainnya itu.
"Kukembalikan teman mesummu itu." Randika lalu berjalan dan menggendong Elva. "Untuk peluru yang sudah dia telan, segera bawa dia ke rumah sakit dan dia akan selamat."
Kedua polisi tersebut dan Deviana tidak berkata apa-apa dan segera membawa Rohim ke mobil mereka. Mereka langsung menuju rumah sakit.
Di sisi lain, Randika sudah sampai di hotel sambil menggendong Elva di kedua tangannya.
"Selamat malam tuan, apakah ada yang bisa kami bantu?" Resepsionis hotel menyambut Randika dengan senyuman walaupun Randika masuk sambil menggendong Elva.
"Kami mau memesan kamar untuk satu malam."
"Pertama-tama saya minta KTP tuan dan kami akan segera memprosesnya."
Randika lalu meletakkan Elva di sofa dan berusaha mengambil dompet di saku celananya. Namun saku celananya terasa penuh dan dia memutuskan untuk mengeluarkan semua benda itu terlebih dahulu.
Di depan resepsionis ini, Randika menaruh kotak kondom-kondomnya di meja bahkan ada yang terjatuh dan isinya sampai keluar.
Randika mengintip perempuan itu dan melihat keterkejutan di mukanya.
Kenapa pria ini punya banyak sekali kondom? Meskipun kita sama-sama dewasa dan kita tahu bahwa arti dari menginap semalam, bisa-bisanya pria ini membawa kondom segitu banyaknya?
Randika lalu memecah keheningan dengan tertawa dan resepsionis ini segera sadar kembali.
"Hahaha Maaf." Randika tidak malu sama sekali. "Sebelumnya temanku itu sudah sangat antusias dan kami terlanjur membelinya terlalu banyak."
"Aku mengerti tuan." Perempuan itu berusaha tetap tersenyum.
Setelah itu, Randika menyadari bahwa dia lupa membawa dompet. Sebelumnya dia mengejar pembunuh itu dengan terburu-buru dan dia tidak membawa apa-apa dengannya.
"Maaf, aku lupa membawa dompet." Kata Randika kepada resepsionis tersebut. Lalu, di bawah tatapan tajam resepsionis itu, Randika mencari-cari dompet di tubuh Elva.
Hei aku tidak berbuat mesum, aku hanya sedang mencari dompetnya!
Randika lalu menyadari bahwa Elva sedang memakai gaun pesta mini dress dan tidak ada kantongnya sama sekali. Lalu dia berpikir karena sebelumnya Elva berada di bar, bagaimana dia akan membayar tagihannya?
Lalu dia teringat ketika dirinya berciuman panas dengan Elva sebelumnya, dia merasakan sesuatu yang keras di pantat Elva, apakah itu dompetnya? Lalu diam-diam dia mengeceknya dan menemukan dompet tersebut.
Dia berusaha terlihat tenang meskipun tatapan mata resepsionis itu menusuknya.
Randika lalu memberikan KTP milik Elva dan tidak lama kemudian kamar mereka telah siap.
"Ini kunci kamar Anda tuan. Selamat menikmati malam hari ini."
Mendengar perkataan itu, Randika tersenyum dan berjalan menuju lift.
Ketika dia masuk, dia segera menidurkan Elva di ranjang.
"Kau berhutang budi padaku kali ini." Randika menatap Elva yang masih tidak sadarkan diri dan menanggalkan pakaiannya. Tidak lama kemudian, bagian atas Elva hanya tertutup oleh beha putihnya.
Luar biasa!
Randika tidak bisa menahan diri untuk tidak menelan air liurnya. Dada wanita ini besar, sama seperti istrinya dan Viona.
Melihat Elva yang tidak sadarkan diri itu, Randika secara tidak sadar menjulurkan tangannya dan meremasnya. Keempukan yang luar biasa itu segera dia rasakan.
Ketika dadanya dipegang, Elva membuka matanya sedikit dan memeluk erat Randika.
Asyik!
Aku tidak tahu bahwa kau masih ingin melanjutkannya.
Merasa bahwa dirinya telah diundang, Randika tidak sungkan dan meremasnya beberapa kali lagi. "Ketika waktunya tiba, aku akan meminta hutang ini dibayar lunas."
Namun secara tiba-tiba, wajah Elva menjadi pucat pasi dan tubuhnya mulai kejang-kejang.
"Gawat!" Randika terkejut. Sebelumnya dia sudah menekan titik-titik tubuh akupuntur Elva ketika mereka bermesraan di jalan sebelumnya. Dengan bantuan tenaga dalamnya juga, dia telah menghentikan penyebaran obat yang telah dia terima dari para preman itu. Namun, rupanya tenaga dalam Randika tersalurkan terlalu banyak dan membuat tubuh Elva terguncang.
Begitu ini terjadi, mustahil untuk disembuhkan. Hanya ada satu cara untuk menyelamatkan Elva dan dirinya.
Elva merupakan salah satu anggota Arwah Garuda, jadi apabila perempuan ini mati karena dirinya, bisa-bisa terjadi keributan yang tidak perlu.
Tanpa ragu-ragu lagi, Randika segera mencopot celana pendek ketat yang dipakai Elva di balik gaunnya dan sepasang paha putih yang mulus menyambutnya.
"Aku tidak menyangka ada sisi kekanak-kanakkan di dirimu." Randika melihat celana dalam doraemon yang dipakai Elva dan sedikit tertawa karenanya.
Di saat yang sama, Randika juga melepas baju dan celananya. Seluruh otot kekarnya dan luka-lukanya terekspos.
Dia perlu menggunakan tenaga dalamnya yang murni ini untuk menyelamatkan Elva. Semakin pori-pori tubuh yang terbuka, semakin bagus.
Ketika semuanya sudah siap, dia segera menancapkan jarum akupuntur untuk menjaga detak jantung Elva. Kemudian dia menancapkan beberapa jarum sekaligus menaruh tangannya di dada Elva!
Bukan waktunya untuk dirinya terpesona dengan keempukan dada Elva. Tenaga dalamnya yang berada di tubuh Elva segera mengalir kembali ke tubuhnya dengan cepat. Tiba-tiba, Elva meresponnya dengan suara desahan yang cukup erotis.
Tangan kanan Randika masih terus menancapkan jarum di titik-titik tertentu pada tubuh Elva. Karena serangkaian tindakan Randika ini, Elva mulai memancarkan asap berwarna pink dari tubuhnya.
Asap-asap pink ini dipaksa keluar oleh Randika. Mereka keluar dari pori-pori tubuh Elva dan menyebar ke seluruh ruangan. Kamar yang terang ini segera dipenuhi asap berwarna pink ini.
Karena proses penyembuhan ini, seluruh tubuh Randika sekarang dipenuhi oleh tenaga dalamnya.
Muka Randika terlihat penuh konsentrasi. Ketika dia mengangkat tangan kirinya dari dada Elva, dia menepuk pelan dada itu dan tiba-tiba Elva tidur telungkup dengan sendirinya.
Tangan kirinya sekarang diletakkannya di punggung Elva dan tangan kanannya masih menusukkan beberapa jarum lagi. Kecepatan asap pink yang keluar dari tubuh Elva tersebut mulai berkurang dan rona wajahnya kembali menjadi normal.
Setelah beberapa saat, Elva terlihat bernapas kembali dengan normal. Kemudian Randika mendudukkan Elva dan mulai mencabuti jarum-jarumnya.
Melihat bahwa Elva sudah kembali normal, Randika bernapas lega.
"Aku mengharapkan imbalan yang sepadan!"
Asap pink di kamar ini juga perlahan mulai hilang. Randika lalu beristirahat di samping Elva dan tidak perlu menunggu waktu lama untuk dirinya mengantuk.
Sebelum dia tertidur, dia memastikan bahwa Elva sudah tertidur dengan pulas. Butuh beberapa waktu untuk perempuan itu agar tersadar kembali jadi dia tidak perlu khawatir ketika tidur di sampingnya.
Lalu ketika dia menutup matanya, dia melupakan sesuatu. Mereka berdua hanya memakai celana dalam! Dia bisa-bisa dibunuh Elva kalau dia terbangun dengan keadaan mereka seperti ini.
Dia segera melompat berdiri dan mulai berpakaian. Setelah itu, dia berusaha memakaikan Elva gaunnya dan celana ketatnya.
Ketika dia selesai memakaikannya, paha mulus dan dada empuk itu tertutup lagi. Dia merasa sayang kalau dia tidak melihatnya sekali lagi dan dia melonggarkan gaun tersebut hingga ke perut. Dia ingin merasakan keempukkan itu sekali lagi.
Ketika tangannya hendak meraih kegembiraannya itu, bel kamarnya berbunyi.
"Ha? Siapa?" Randika segera waspada. Apakah anggota Jeratan Neraka lainnya telah menemukan dirinya? Randika segera menempelkan telinganya pada tembok dan berusaha mendengarkan suara apa saja yang bisa dia tangkap.
"Iya siapa?" Teriak Randika. Namun tidak ada jawaban dari pihak luar meskipun suara bel itu tidak berhenti.
Randika mulai waspada. Dia memancarkan aura membunuhnya ketika dia berjalan menuju pintu.