Chapter 37: Tunggu Saja Pembalasanku!
Chapter 37: Tunggu Saja Pembalasanku!
Ketika Randika membuka pintunya dia disambut oleh sosok yang tidak terduga.
Dia adalah Inggrid!
Bagaimana bisa istrinya itu ada di tempat ini?
Ketika melihat Randika yang ada di balik pintu, Inggrid bernapas lega. Dia pada saat itu hanya melihat Randika yang mengejar pembunuh tanpa bisa berbuat apa-apa. Karena khawatir akan keselamatan Randika, dia memutuskan untuk mengejarnya bersama Ibu Ipah.
Dengan bantuan Ibu Ipah, melacak pergerakan Randika hanyalah masalah sepele. Mereka juga mengikuti petunjuk berupa para preman yang berlarian sambil telanjang. Di dunia ini, mungkin hanya Randika yang memiliki keberanian dan ide absurd seperti itu hingga dapat memaksa para preman itu.
Ketika mereka melihat Randika menggendong seorang wanita ke arah hotel, hati Inggrid sedikit terasa sakit. Setelah meminta nomor kamar Randika di resepsionis, dia segera menuju kamar tersebut.
Randika masih terkejut di balik pintu sedangkan Inggrid ingin mendobraknya. Ketika Inggrid hendak masuk, Randika mencegahnya.
"Istriku yang cantik kenapa kau ada di sini?" Kata Randika dengan senyuman canggung.
Inggrid merasa ada yang aneh dan tetap berusaha masuk. Dia menggocek ke kanan dan ke kiri tetapi tetap tertahan oleh Randika.
"Bukannya kau sedang mengejar orang tadi? Ngapain kau di sini sekarang?" Nada Inggrid terdengar dingin. Dia selalu merasa bahwa Randika orang tidak tahu diri dan teraneh yang pernah ditemuinya tetapi dia masih tidak mau mempercayai bahwa Randika adalah orang yang suka selingkuh.
Sepasang lelaki dan perempuan berjalan menuju hotel berdua, orang bodoh pun tahu apa yang akan mereka lakukan di dalam.
Randika lalu memberitahu bahwa dia ingin istirahat dulu sebelum pulang karena rumahnya jauh dan sudah mengejar pembunuh itu cukup lama.
Inggrid benar-benar tidak percaya dengan perkataan Randika. Dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Randika menggendong seorang wanita ketika mereka masuk ke dalam hotel.
"Yah begitulah ceritanya haha!" Randika memaksakan diri untuk tertawa. "Kalau begitu aku akan Ah!"
Ketika perhatian Randika sedikit teralihkan, Inggrid segera mendorong Randika dan masuk secara paksa!
Gawat. Ini benar-benar gawat!
Randika tersenyum pahit melihat adegan ini. Inggrid telah melihat Elva yang gaunnya sedang terbuka dan menampilkan behanya yang putih itu. Dia benar-benar terkejut dengan kenyataan ini dan sebenarnya berharap bahwa matanya tadi menipunya.
"Hmm.."
Inggrid mendengus dingin dan berjalan balik menuju pintu.
Sesuai dugaanku pria ini hanya pria mesum dan memikirkan dirinya, pikirnya.
Hati Inggrid sekarang sedang mengalami gejolak batin. Dia tahu bahwa hubungan mereka hanyalah kawin kontrak dan akan berakhir dalam 3 bulan. Lalu kenapa dirinya merasa hatinya sakit ketika dia melihat Randika hendak melakukannya dengan wanita lain? Kenapa dia sebelumnya peduli dengan pria semacam ini yang bermain di belakangnya?
Inggrid merasa muak dengan semua ini jadi dia ingin segera keluar dari sini. Namun, sekarang dia dicegah oleh Randika.
"Minggir!" Teriak Inggrid.
"Tunggu!" Randika langsung mencegah Inggrid yang hendak keluar itu. Permainan menggocek kembali terjadi.
"Inggrid tunggu dan dengarkan aku." Kalau Randika menjelaskan hal ini sambil bercanda mungkin Inggrid benar-benar akan meninggalkannya.
Akhir-akhir ini, dia merasa bahwa hati Inggrid sudah mulai terbuka untuk dirinya. Terutama setelah percobaan pembunuhan di rumah mereka itu. Dengan datangnya Inggrid ke tempatnya ini merupakan bukti tak terbantahkan bahwa dirinya sudah menjadi orang penting di hidup istrinya itu.
Yang terpenting sekarang adalah menjelaskan bahwa situasi yang tampak erotis ini hanyalah sebuah pertolongan yang dibutuhkan untuk menyelamatkan wanita yang setengah telanjang tersebut.
Randika benar-benar ingin menangis sekarang. Dia sebelumnya tidak mendapatkan apa-apa ketika bersama Elva sekarang istrinya hendak meninggalkannya.
"Jelasin apa?" Inggrid berteriak keras pada Randika. "Aku tidak peduli kamu mau berbuat apa dengan wanita itu!"
"Tenanglah, ini semua tidak seperti yang kau bayangkan." Randika segera menampar dirinya sendiri, dia merasa telah berbuat sesuatu yang sangat buruk terhadap istrinya itu.
"Apa? Kau ingin memamerkan hubunganmu dengan wanita itu di depanku?" Entah kenapa kali ini, suaranya terdengar serak.
"Istriku Aku mohon dengarkan aku." Randika benar-benar memohon kepada Inggrid.
"Siapa yang kau sebut istri?" Inggrid memalingkan wajahnya. "Ingat hubungan kita ini terjalin cuma karena kontrak, kita akan berpisah dalam 3 bulan!"
Inggrid lalu mengangkat kakinya dan menginjak keras kaki Randika.
Karena Randika sibuk dengan kakinya yang sakit, Inggrid segera meninggalkan ruangan terkutuk itu.
Melihat Inggrid yang berjalan keluar itu, hati Randika terasa sakit. Kenapa semuanya menjadi seperti ini? Bukankah awalnya dia sedang mengejar pembunuh dari Jeratan Neraka lalu tiba-tiba bertemu dengan Elva yang telah diberi obat? Lalu karena suatu alasan dia bertemu Deviana dan sekarang setelah menyelamatkan hidup Elva, istrinya malah mengira dirinya selingkuh?
Akhirnya, setelah beberapa saat terdiam, Randika menghela napas. Dia hanya menyalahkan ketampanan dirinya itu dan para perempuan yang klepek-klepek karena pesonanya itu.
'Yah nanti aku akan jelaskan lagi saat tiba di rumah.' Pikirnya. Lagipula, mereka tinggal seatap dan agar dirinya tidak diusir dan untuk menyelamatkan citranya, dia harus menjelaskan situasi ini dengan sejelas mungkin.
Menutup pintu kamarnya, Randika kembali menuju tempat tidur. Seharusnya efek obat dalam tubuh Elva sudah hilang sekarang dan seharusnya dia sudah bangun sekarang.
Namun, di tempat tidur tidak ada siapa-siapa.
Di saat Randika terkejut, sebuah bayangan sudah menerjang turun ke arah kepala Randika. Tanpa peringatan apa-apa dia hendak memukul Randika!
Namun, reaksi Randika jauh lebih cepat. Dia langsung mengelak dan mencengkram erat pergelangan tangan bayangan tersebut. Dia lalu menariknya jatuh!
Namun, bayangan tersebut sangatlah lentur. Dia memanfaatkan momentum jatuh tersebut untuk bersalto di udara dan menerkam punggung Randika. Keempukan dada perempuan itu menempel dan kaki panjangnya yang mulus itu mengapit leher Randika.
"Kau sudah gila apa?" Sambil berteriak pada Elva, dia masih sempat menikmati dan menggigit kecil paha putih itu. Merasa bahwa Randika malah memanfaatkan keadaan ini untuk aji mumpung, dia segera melepas pelukan mautnya itu. Namun, Randika segera mengunci salah satu kaki Elva dengan salah satu lengannya.
Elva berusaha melarikan diri tapi tidak bisa.
"Kau harusnya berterima kasih padaku bukan menyerangku!" Randika mengerutkan dahinya.
Melihat pria paling dibencinya di dunia ini, dia segera mengangkat tangan kanannya untuk menghajar pria itu. Namun tangannya malah tertangkap dan posisinya menjadi canggung.
Elva lalu menganalisa situasinya sambil terus memberikan tatapan tajam, dia lalu mengangkat tangan kirinya dan memukul ke arah kepala Randika. Melihat Elva yang terdiam beberapa saat, Randika juga sudah mengetahui bahwa perempuan ini tidak akan menyerah. Dia lalu berdiri sambil menggenggam erat kedua kaki Elva dengan capitan lengannya itu. Dengan begini, Elva tidak bisa menggapai Randika sama sekali.
Elva, yang merasa posisinya sudah skak mat, berhenti melawan dan terdiam.
"Kau gila atau apa?" Melihat Elva, Randika masih sedikit jengkel. Dia sudah susah payah menyelamatkan hidup perempuan itu, sekarang malah dia menyerang dirinya tanpa berkata apa-apa. Apakah dia lupa momen panas mereka? Dan mana imbalanku karena telah menyelamatkanmu?
"Huh!" Elva merasa muak ketika melihat muka Randika. Ketika dia terbangun tadi, gaun yang dipakainya telah terlipat dan memperlihatkan dadanya. Celana pendek ketatnya yang dia pakai di balik gaunnya ternyata terpakai terbalik. Hanya ada satu penjelasan logis. Ketika dia tidak sadarkan diri, Randika pasti telah berbuat tidak senonoh terhadap dirinya!
Terlebih lagi, ruangan ini nampak seperti kamar sebuah hotel. Jadi Randika pasti telah berbuat aneh-aneh terhadap dirinya.
"Apa yang kamu lakukan padaku saat aku tidak sadarkan diri?" Tanya Elva dengan tatapan dingin.
Randika terkejut, bajingan berarti kau ingin memukulku hanya karena itu? Kenapa tidak berbicara dengan kepala dingin saja?
"Aku cuma membantumu mengeluarkan obat para preman itu keluar dari tubuhmu itu!" Senyum canggung naik di wajahnya. "Kalau tidak, kenapa kau merasa enakan sekarang?"
"Bukan itu inti permasalahannya!" Elva melihat senyum canggung Randika itu dan mengamuk.
"Bukankah itu saja yang terpenting?" Randika pura-pura kaget. Setelah berpikir beberapa saat, dia mengatakan. "Apakah kau mau tahu kalau aku suka doraemon atau tidak?"
"Kurang ajar!" Ketika mendengarnya, dia ingin menampar Randika tetapi dia tidak bisa bergerak.
Dia memaki-maki Randika sambil mengutuknya dengan tatapan matanya.
Dasar pria tidak tahu diri! Aku akan membalas perbuatanmu!
Randika hanya bisa tersenyum pahit, sebagai seorang pria dia tidak bisa melewatkan kesempatan emas seperti itu.
"Jika kau tidak segera diam, aku akan tunjukan apa saja yang kulakukan tadi." Randika tersenyum nakal padanya. Posisi mereka sekarang terlihat canggung, intinya Randika memeluk erat kakinya Elva. Elva tidak bisa bergerak karena pahanya telah dirangkul oleh Randika. Randika hanya perlu membenamkan kepalanya di antara paha Elva dan itu sudah cukup untuk menyulut api peperangan.
"Kau!" Elva menatapnya tajam.
Randika tidak bisa menahan dirinya untuk tidak menghela napas. Kenapa gadis ini begitu naif? Seorang Ares takut dengan ancaman manusia? Dirinya semakin tertantang untuk melakukannya.
Seketika itu juga, bukannya membenamkan kepalanya tetapi Randika menurunkan posisi Elva hingga wajah mereka berhadap-hadapan.
"Kau!" Elva merasa malu sekaligus marah. Karena wajah Randika ada di hadapannya, dia segera memalingkan wajahnya.
Percuma untuk memalingkan wajah, dia sudah merasakan bahwa hidung Randika sudah menempel di wajahnya dan turun ke lehernya.
"Sungguh leher yang menggoda..." Randika lalu menjilatinya! Elva merasa jijik dan menutup matanya. Dia berusaha menahan rasa malu ini.
Randika lalu berbisik di telinganya. "Telinga yang kelihatan lezat..." Dia lalu menggigit telinga Elva dan suara desahan yang imut keluar dari mulut Elva.
Elva merasa tubuhnya akan dinodai seluruhnya jadi dia berusaha melepaskan diri. Namun usahanya percuma, dirinya sedang dipeluk oleh salah satu orang terkuat di dunia jadi dia tidak bisa melawan sama sekali.
Elva hanya bisa memendam amarah ini dan memaki-maki Randika dalam hatinya. Bahkan orang-orang di Arwah Garuda tidak berani melecehkannya seperti ini.
"Hmm? Mulut berkata tidak tapi tubuhmu berkata cukup jujur." Randika menyadari di bagian dadanya ada yang mengeras dan suara napas Elva semakin berat. Berarti titik erotis Elva berada di telinga itu telah merespon dirinya. Dia sendiri tidak bisa mengontrol miliknya lagi.
"Jika kau tidak melepaskan aku, aku akan memburumu seumur hidupku! Seluruh Arwah Garuda akan menghantui hidupmu!" Teriak Elva.
Sejujurnya, ancaman ini tidak berguna di depan Randika. Arwah Garuda menghantui dirinya? Para bawahan milik Randika jauh lebih kuat daripada mereka, jadi kenapa perlu takut?
"Angsa putihku yang cantik ternyata tidak mau lepas dariku?" Randika terus menyerang telinga Elva. "Apakah kau ingin bersamaku hingga ujung bumi?"
"Kau!" Elva ingin memberontak tapi telinganya selalu digigit ataupun disebul, jadi kekuatan tubuhnya menghilang. Dia merasa malu karenanya.
"Sudah jujur saja, meskipun mukamu biasa saja, dadamu biasa saja, pantatmu kurang semok, kulitmu kalah mulus dan kakimu kalah panjang, aku tetap menerimamu dengan senang hati." Kata Randika sambil tertawa.
"Mimpi!" Elva sekarang diserang secara verbal juga, ini membuatnya lebih marah lagi.
Randika tiba-tiba teringat akan jam dan istrinya yang masih ngambek di rumah. Dia merasa sudah cukup main-mainnya dan melepas Elva dari pelukannya. Elva yang terkejut hampir saja terjatuh.
Setelah membenarkan pakaiannya, Elva menyadari bahwa Randika sudah ada di depan pintu dan dia berkata pada dirinya. "Lain kali, aku akan berpikir dua kali sebelum menyelamatkanmu. Aku membuka baju dan celanamu bukan karena aku memiliki pikiran aneh-aneh. Pilihannya hanya melakukan itu dan menyelamatkanmu atau melihatmu mati overdosis."
Wajah Elva masih dipenuhi api amarah. Dia langsung memasang kuda-kuda menyerangnya dan hendak menerjang Randika. Namun, dia dihentikan oleh kata-kata Randika, "Serang aku sekali lagi maka aku akan menganggapmu ancaman."
Ketika aura yang dipancarkan Randika keluar, Elva memilih untuk memandam rasa amarahnya itu.
"Huh!"
Kemudian Elva membalikkan badannya dan melompat sambil mengambil semua barangnya di tempat tidur.
"Tunggu saja pembalasanku!" Kata Elva dengan nada tidak enak didengar. Dia lalu melompat keluar dari jendela!
Saking marahnya, Elva tidak mau menyentuh apa yang Randika sentuh dan keluar dari jendela. Randika hanya geleng-geleng ketika melihatnya. Perempuan itu benar-benar berpikiran dangkal. Menunggu balasannya? Kalau perempuan itu berani menyerangnya lagi, dia tidak segan-segan memberinya pelajaran. Lagipula mereka berdua adalah sama-sama ahli bela diri jadi sedikit luka bukanlah suatu masalah.
Sekarang karena Elva sudah tidak ada, Randika tidak perlu lama-lama lagi di hotel ini. Dia masih harus menjelaskan situasinya ke istrinya yang sedang ngambek di rumah.
Ketika dia berjalan hendak pulang ke rumahnya, dia melirik kembali ke bar sebelumnya. Ternyata, dia melihat sesosok orang yang dikenalnya dan mengintipnya dari luar.